Kamis, 22 April 2010

Teologi Kontekstual


Oleh: Sarmen Sababalat


Pendahuluan
Apa itu teologi kontekstual? Kata konteks merujuk ke budaya, keadaan sosial dan politik, sejarah dan sebagainya di suatu tempat. Sebenarnya, teologi selalu mencerminkan konteksnya. Dalam menjalankan teologi kontekstual diperlukaan beberapa kiat agar Injil dapat disampaikan dengan tepat karena apabila pengabaran Injil tidak disesuaikan dengan konteks akan menimbulkan beberapa akibat yang fatal. Untuk itu dalam paper ini akan dibahas sedikit mengenai teologi kontekstual.

Pembahasan
Teologi kontekstual adalah usaha untuk merelevankan teks pada konteks. Perjumpaan antara Teks dan konteks akan melahirkan pemikiran yang kritis baik terhadap teks maupun konteks. Pemikiran kritis tesebut akan mengupayakan pemahaman teks secara benar dan mempelajari konteks secara adekuat. Usaha ini akan mempelajari upaya rekonsiliasi antara teks dan konteks, dan antara konteks dengan konteks. Pemikiran rekonsiliasi ini akan mendorong seseorang melihat konteks secara benar dan bagaimana mengaplikasikan teks pada konteks secara tepat guna. Tugas teologi adalah pertama-tama mengerti teks, yaitu arti dari aktivitas penebusan Allah dalam sejarah Alkitab mencapai titik tertinggi dalam pribadi dan pekerjaan Allah melalui kemanusiaan Yesus Kristus. Teks dalam konteksnya sendiri adalah pokok awal yang tepat dari banyak kegiatan teologi. Intisari, keunikan dan isi dari iman Kristen tergantung pada fakta yang merupakan dasar sejarah dan bukan batas sejarah. Alkitab berbicara pada setiap jaman dan situasi, langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu teks dalam Alkitab tidak akan pernah berubah.
Kiat-kiat mengkontekstualisasikan Injil dengan tepat antara lain;
1. Bentuk atau kerangka kerja dikonstruksi dengan hati-hati untuk mengekspresikan secara relevan apa yang dikatakan oleh Alkitab bagi isu-isu situasi yang khusus. Hanya ketika kita berdiri dengan alasan teks, apakah kita dapat mencakup pandangan Alkitab pada pokok yang pasti. Teks menolong kita untuk mengerti konteks. Kita perlu memperhatikan tiga hal dalam usaha kita menghubungkan teks dengan konteks; pertama, sifat dasar doktrin biblika seperti keunikan serta kematian Kristus dan keunikan wahyu dalam Alkitab tidak dapat dikompromikan. Kedua, prioritas eksegese Alkitab harus ditegaskan untuk membuat aplikasi yang memadai bagi konteks perubahan yang berbeda. Ketiga, kita harus berhati-hati dalam memberikan perhatian pada pernyataan sejarah untuk mencari tahu bagaimana Allah bekerja di dalam kehidupan orang-orang Kristen pada abad-abad sebelumnya. Prinsip kontekstualisasi mengarah kepada karakter situasional dari teologi sebagaimana hal ini menghubungkan antara teks pada konteks. Karakter situasional dari teologi, pada gilirannya, membimbing kepada beberapa ciri khas dari refleksi teologi.
2. Teologi sebaiknya bersifat kritis dan kenabian. Orang-orang Kristen sebaiknya tidak hanya mengerti teks Alkitab dari latar belakang asalnya; kita juga harus menghubungkan hal tersebut kepada isu-isu yang sedang memanas pada hari-hari ini. Melalui refleksi teologi, komunitas orang percaya menganalisa, menilai dan mencari untuk mentransformasikan situasi yang diberikan dalam pandangan pesan Alkitab.
3. Kontekstualisasi mengartikan bahwa kita harus memberikan perhatian serius tidak hanya pada situasi kehidupan dari para penulis Alkitab dan para pembaca asalnya tetapi juga pada situasi iman dan kehidupan dari gereja yang ada di dunia saat ini. Penafsir Alkitab membutuhkan “isi dari konteks itu dan juga konteks ini” untuk menerjemahkan teks agar mempunyai makna yang sangat berarti bagi waktu sekarang. Pengkontekstualisasian teks Alkitab dan teologi “sangat membutuhkan pengakuan dari pentingnya waktu dan tempat ini”. Penting bagi kita memperhatikan konteks kesusastraan dan sejarah dimana teks disusun dan dari mana teks bangkit, yaitu untuk mengetahui artinya. Tetap sama pentingnya untuk memperhatikan konteks kita sendiri sejak hal itu selalu mewarnai pengertian kita tentang teks. Juga, penting untuk memperhatikan situasi pendengar kita dan cara-cara dimana situasi tersebut mengorganisir kembali pesan-pesan asli di dalam kerangka referensinya sendiri. Ini hanya satu-satunya jalan untuk meyakinkan bahwa pesan-pesan dan tanggapan-tanggapan para pendengar pada waktu sekarang adalah sama dengan hal-hal tersebut di dalam dituasi asal. Proses ini disebut “kesamaan dinamis”. Perubahan bukanlah suatu hal yang harus dihindari, namun justru harus dihadapi dengan berpegang pada teks Alkitab. Konteks bisa berubah namun teks tidak bisa berubah hakikatnya.
4. Selain itu kita juga perlu terus memperhatikan hubungan antara konteks dengan konteks agar Firman Tuhan itu dapat disampaikan sesuai dengan kebutuhan dimana konteks kita melayani.


Bahaya-bahaya yang dapat timbul apabila Injil tidak dikontekstualisasikan dengan tepat antara lain;
1. Apabila Injil hadir dalam bentuk yang berbeda dan peraturan-peraturan yang berbeda dengan kebudayaan setempat, Injil dapat ditolak karena Injil dilihat sebagai suatu ancaman bagi kebudayaan suatu komunitas dan bagi solidaritas mereka sebagai bangsa atau suku.
2. Apabila Injil disajikan dalam bentuk-bentuk kebudayaan asing, hal ini akan menimbulkan perasaan sakit hati dan Injil yang mereka beritakan akan ditolak karena dianggap sebagai suatu usaha memaksakan adat dan cara hidup asing kepada sebuah komunitas budaya.
3. Sinkritisme atau pencampuradukan Injil dengan kebudayaan. Hal ini bisa saja terjadi apabila si penginjil tidak memiliki dasar teologi yang kuat untuk diberitakan kepada suatu komunitas.
4. Nilai-nilai kebenaran Injil yang sesungguhnya mengenai Yesus Kristus akan berubah karena orang yang belum mengenal Injil tidak akan dapat memahaminya dengan tepat. Dari sini mungkin juga akan lahir pengajar-pengajar sesat tentang injil Kristus.
5. Berita tentang Kristus tidak akan benar-benar “mendarat” dalam pikiran dan hati masyarakat yang akan diinjili. Sehingga mereka tidak benar-benar mengenal Kristus dan tentu saja tidak bisa menjadi pengikut Kristus yang sesungguhnya.


Beberapa usaha untuk mencegah atau menghalangi bahaya-bahaya di atas antara lain;
1. Tidak semua unsur dalam kebudayaan bernilai negatif atau dengan kata lain ada unsur dalam kebudayaan yang kadang-kadang tidak menolak Kristus sebagai Tuhan. Karena itu unsur-unsur seperti ini tidak perlu dibuang, melainkan dipelihara dan sedikit demi sedikit diubah ke nilai Kristiani yang sesungguhnya. Untuk itu para penginjil perlu mengembangkan pengertiannya dan penghargaannya terhadap kebudayaan lokal. Barulah mereka bisa mengerti apakah penolakan yang mungkin terjadai itu disebabkan tantangan yang berasal dari Yesus Kristus atau ancaman terhadap kebudayaan itu yang sebenarnya tidak perlu diadakan.
2. Setiap penginjil hendaknya menyesuaikan Firman Allah yang tidak berubah itu dengan konteks masyarakat yang dihadapi. Dalam memberitakan Injil, Penginjil bukan membawa budayanya secara pribadi dan memaksakannya pada budaya orang lain, melainkan si Penginjil haruslah menyesuaikan Firman Tuhan dengan kebutuhan budaya setempat. Hal ini dilakukan agar komunitas yang ingin diinjili tidak melihat kekristenan sebagai suatu pemaksaan budaya asing ke dalam budaya mereka.
3. Penginjil mungkin perlu mengadakan pendekatan-pendekatan tradisional, misalnya melalui kebiasaan-kebiasaan adat yang sesuai dengan Injil yang ada pada masyarakat setempat. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang belum mengenal Injil tidak meemandang Injil sebagai suatu budaya yang baru dan asing.
4. Setiap penginjil harus benar-benar dipersiapkan dan dibekali dengan pemahaman-pemahaman yang tepat dan benar mengenai Injil agar berita yang disampaikannya pun adalah berita yang benar dan tepat tentang Kristus.
5. Penginjil harus bisa hidup “menjadi seperti” masyarakat yang diinjilinya namun tetap harus dalam arahan terang Firman Tuhan. Hal ini penting karena apabila komunitas itu telah bisa menerima si penginjil maka secara otomatis Injil yang diberitakannya pun akan dengan mudah diterima dan dipercaya oleh komunitas setempat. Hal ini juga dilakukan oleh Kristus yang “telah menjadi” manusia dan Paulus (Lih. 1 Kor. 9).

Kesimpulan
Berteologia secara kontekstual bukanlah sesuatu yang mudah. Hambatan pertama adalah diri kita sendiri. Kapasitas pemahaman teologis yang minim, dan wawasan ilmu-ilmu sosial yang sempit akan menjadi hambatan utama bagi seorang hamba Tuhan untuk mengkontekstualisasikan Injil. Ia akan dihantui oleh rasa bersalah, dan dibayangi oleh rasa takut dianggap sesat, atau dicap duniawi. Selain itu, hambatan juga pasti datang dari kelompok yang merasa sudah mapan. Mereka tidak ingin mengubah pola-pola pewartaan Injil, bahkan akan menentang setiap usaha pembaharuan, karena mereka menganggap bahwa pola yang selama ini sudah dilaksanakan telah berhasil membuat mereka mapan. Akan tetapi jika kita mau bersikap jujur dan terbuka kepada kebenaran Alkitab, sesungguhnya tidak ada alasan untuk mencurigai, apalagi menolak kontekstualisasi. Hanya saja, kita dituntut untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas, wawasan, dan skill kita khususnya di bidang teologia. Karena hanya dengan cara itu kita mampu memberitakan Injil secara kontekstual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar