Jumat, 23 April 2010

MENDAKWA ALLAH? CATATAN TENTANG TEODISEA (Franz Magnis-Suseno)

Oleh: Sarmen Sababalat

1. Masalah Teodisea
Masalah tentang penderitaan dan adanya kejahatan dalam dunia filsafat disebut sebagai teodisea (“theos”, Allah dan “dike”, keadilan), yang artinya masalah pembenaran keadilan Allah. Pada umumnya, para filosofis menganggap bahwa kejahatan – dalam bahasa agama: kenyataan bahwa manusia oleh Allah diizinkan berdosa – sebagai masalah yang lebih besar dari penderitaan karena dosa langsung menantang kesucian Allah. Franz Magnis-Suseno tidak sependapat, karena menurutnya masalah Allah mengizinkan dosa adalah masalah Allah sendiri. Adanya penderitaan manusia, itu merupakan urusan manusia itu sendiri. Dalam filsafat, sudah ditegaskan bahwa Allah secara hakiki mahatahu, mahakuasa, mahaadil, mahabaik dan mahaberbelaskasihan. Tetapi mengapa ada penderitaan? Jack Miles merumuskan: Adanya penderitaan di dunia ciptaan-Nya merupakan masalah Allah yang paling benar.
Masalah teodisea, tidak muncul dalam lingkungan semua agama. Dalam panteisme, penderitaan individual seakan-akan tenggelam dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinous. Masalah teodisea hanya muncul apabila Tuhan dipahami secara personal-dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Penderitaan menjadi masalah justru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan, oleh mereka yang percaya kepada-Nya, dialami, sebagai kekuatan yang peduli pada manusia, yang adil, yang berbelas kasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni kesalahan manusia, dan yang menyembuhkan.

2. Penjelasan-penjelasan Yang Tidak Memadai
Ada berbagai pertimbangan atas penderitaan yang diizinkan oleh Allah:
a. Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa yang bersangkutan.
b. Melalui penderitaan Allah mencoba mutu manusia, hanya manusia yang bertahan dalam penderitaan pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga.
c. Penderitaan akan lebih daripada diimbangi oleh ganjaran di surga.
d. Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral.
e. Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya (Leibniz).
f. Manusia tidak seimbang dengan Allah; karena ia tinggal menerima saja segala apa yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tidak perlu bertanya, apalagi memprotes.

Penderitaan sebagai hukuman dipahami:
a. Tidak menjelaskan mengapa juga ada anak yang baru lahir sudah bisa menderita penyakit dengan rasa yang sangat nyeri.
b. Tidak menjelaskan mengapa Allah memerlukan pencobaan seperti itu.
c. Penderitaan bisa memurnikan orang dan dapat memberi dimensi kedalaman kepadanya.
d. Tidak semua orang mengalami penderitaan yang sama beratnya.

3. Konsistensi Allah
Franz Magnis-Suseno mengikuti Louis Leahy, bahwa ada dua langkah dalam masalah teodisea, yaitu pertama, Leahy sependapat dengan Leibniz, mengajukan argumentasi bahwa tidak mungkin Allah menciptakan dunia tanpa adanya keburukan. Leahy bertolak dari pandangan Thomas Aquinas yang berargumen keburukan tidak boleh dimengerti sebagai realitas positif pada dirinya sendiri, melainkan harus dipahami sebagai privation, sebagai kekurangan realitas yang seharusnya ada. Jadi kemungkinan manusia untuk menderita termasuk kodrat manusia. Allah dapat saja berintervensi setiap kali orang terantuk kakinya atau tangan anak kecil mau kecipratan air mendidih, akan tetapi intervensi semacam ini tidak pantas karena tidak “menghormati kemandirian makhluk”. Dengan kata lain apabila Allah memang mau menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia yang secara bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan intervensi untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya, tetapi Allah tidak mencegahnya, karena Ia konsisten dengan kehendak-Nya untuk menciptakan alam dan manusia seperti itu. Jadi tanpa penderitaan perkembangan makhluk menurut kodratnya tidak akan mungkin.

4. Filsafat Menyerah
Langkah kedua, dalam kenyataan bahwa penderitaan begitu melimpah. Argumen di langkah pertama adalah bahwa tidak masuk akal mengharapkan agar Allah terus menerus campur tangan untuk mencegah jangan sampai ada makhluknya menderita. Misalnya, menyiksa bayi yang baru lahir selama berbulan-bulan – bayi menangis dengan suara keras selama berbulan-bulan tanpa berhenti karena perasaan nyeri – sampai akhirnya ia dapat mati. Berhadapan dengan penderitaan dan kejahatan, filsafat diam. Tetapi agamalah yang dapat membuka cakrawala baru. Agama memaklumkan janji Allah bahwa “ciptaan … akan dibebaskan dari perbudakan dan kesia-siaan”. Agama mengajak orang untuk percaya bahwa Allah yang adil dan baik adalah setia. Janji Allah seperti yang terdapat dalam Mazmur 9. Filsafat hanya dapat menunjuk pada sebuah syarat: masalah penderitaan hanya dapat dipecahkan apabila kita percaya bahwa ada kehidupan sesudah kematian.

5. Filsafat Menyerah dan Tidak
Ada dua langkah yang diusulkan oleh Schmidt tentang masalah teodisea, yaitu melalui filsafat dan melalui teologi. Dalam uraiannya, Schmidt mengikuti pemikiran Jörg Splett, guru besar di St. Georgen di Frankfurt (1996). Kesimpulan dari Splett adalah: kalau masalah teodisea tidak dapat dipecahkan, maka jangan mencoba memecahkannya dengan menyangkal Allah. Masalah penderitaan tidak dipecahkan, melainkan hilang kalau tidak ada Allah. Kalau tidak ada Allah, tidak masuk akal untuk berkeluh kesah.
Masalah teodisea dipecahkan karena satu fakta yang juga tidak dapat disangkal, yaitu bahwa ada pengalaman akan kebaikan yang sungguh-sungguh. Padahal, itulah refleksi filsafat, adanya kebaikan sungguh-sungguh tidak mungkin dijelaskan tanpa Allah. Jadi ada dua unsur dalam argumen ini, yaitu: fakta adanya kebaikan dan pengalaman akan kebaikan nyata itu. Hal itu direfleksikan oleh filsafat: kalau tidak ada Allah, kalau yang ada hanyalah realitas empiris alam raya bersama kita manusia-manusia empiris, tidak ada yang sungguh-sungguh baik.

6. Solidaritas Allah
Yang lebih mendekati penyelesaian itu adalah teologi karena sebagai refleksi iman. Teologi bertolak dari keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia karena Ia mencintainya. Schmidt mengutip C.S. Lewis: “Dalam arti tertentu, masalah penderitaan diciptakan, daripada dipecahkan, oleh iman Kristiani. Karena penderitaan tidak akan menjadi masalah andaikata kita tidak, tenggelam dalam pengalaman sehari-hari dengan dunia penuh derita ini, menerima, sebagaimana kita imani, jaminan sah bahwa kenyataan akhir adalah penuh keadilan dan kasih”. Ada sudut kebalikannya seperti yang dikutip oleh Schmidt dalam pandangan Stendahl: “Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah adalah bahwa Ia tidak ada”. Bagi orang Kristen, hak untuk mengajukan protes kepada Allah dibuka oleh protes Yesus di salib (Mark 15:34). Dalam Mazmur 22 juga mengatakan hal yang sama. Yesus tidak hanya memprotes, Ia sekaligus mendoakan Mazmur. Dengan demikian, Yesus disalib memberikan kepada manusia keberanian untuk mempercayakan diri kepada Allah, untuk percaya bahwa Allah, meskipun tetap tidak dapat dipahami, mengetahui betul segala keburukan dan penderitaan dan menjamin bahwa segala apa akan menjadi baik dan bahwa setetes tangisan pun tidak percuma.

Tanggapan
Masalah teodisea merupakan masalah yang selalu dipertanyakan oleh setiap orang. Bukan hanya ketika seseorang itu mengalami penderitaan yang besar, tetapi juga ketika seseorang itu mengalami penderitaan kecil. Kalau kita menyimak peristiwa Ayub yang dikecam oleh teman-temannya, bahwa penderitaan yang dialaminya adalah karena dosanya yang begitu berat di hadapan Tuhan. Ayub tidak setia dan banyak lagi tuduhan yang diberikan teman-temannya kepadanya. Apakah hal itu bisa dikatakan bahwa Allah tetap menolong orang yang saleh atau orang yang tetap berpegang pada perintah Tuhan daripada orang yang banyak dosanya? Teodisea selalu muncul ketika penderitaan itu ada. Mengapa hal itu dipertanyakan? Menurut saya karena kurangnya memahami Allah secara pribadi sehingga dengan seenak hati menghujat Allah bahwa Allah tidak hadir dalam penderitaan itu. Allah memberikan dan memperbolehkan penderitaan kepada manusia karena itu merupakan salah satu cara bagaimana manusia bisa bertahan dalam penderitaan dan pencobaan. Allah memberikan dan menyetujui penderitaan itu karena Allah ingin mengetahui apakah manusia akan setia atau tidak? Seperti yang dikatakan oleh Franz Magnis-Suseno, bahwa Allah mengizinkan penderitaan kepada manusia karena itu adalah kehendak Allah. Allah mengizinkan manusia berdosa itu merupakan urusan Allah sendiri. Manusia tidak berhak mempertanyakan keberadaan Allah ketika mengalami penderitaan karena memang itu adalah masalah Allah sendiri. Manusia mengalami penderitaan karena masalah manusia itu sendiri. Jadi tidak ada sangkutpautnya dengan Allah.
Contoh yang paling menarik kita perhatikan adalah ketika terjadinya tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu. Ada yang mengatakan bahwa tsunami yang dialami oleh orang-orang Aceh adalah karena keberdosaan mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa kejahatan yang dilakukan lebih besar dari daerah lain sehingga Allah melihat bahwa kejahatan pasti akan dihancurkan. Banyak tanggapan serta dugaan yang ditujukan ketika Aceh mengalami penderitaan itu. Bahkan ada yang berpendapat bahwa karena Aceh tidak mau menerima Yesus sebagai juruselamat mereka sehingga Allah marah kepada mereka. Apakah yang terjadi itu kita pertanyakan keadilan Allah telah terjadi? Seperti yang ditulis dalam artikel ini bahwa tidak semua penderitaan itu timbul karena kejahatan manusia. Sebagai contoh ketika anak bayi lahir dan menangis terus menerus, apakah itu bisa kita katakan bahwa dia sudah berdosa sehingga dia dibiarkan menangis? Menurut saya bahwa penderitaan yang dialami oleh manusia itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak boleh mempertanyakan keberadaan Allah ketika dalam penderitaan karena manusia tidak akan bisa memahami dan mengerti kedalaman maksud Allah.
Saya senang membaca artikel ini karena dapat memperkaya pemikiran saya tentang penderitaan. Kelebihan dari artikel ini adalah menyajikan argumen yang masuk akal karena selalu membandingkan dengan pandangan beberapa ahli dan penulis artikel ini (Franz Magnis-Suseno) memiliki kesimpulan sendiri dan tidak selalu terikat dengan pandangan ahli-ahli yang lain walaupun ada beberapa yang dia setujui. Kelebihan yang lain juga adalah bahasanya mudah dipahami dan dicerna oleh siapa saja sehingga menarik untuk kita baca dan kita memperoleh hal yang baru. Kekurangannya adalah kalau kita tidak terlalu memahami makna penderitaan itu secara mendalam, maka kita akan menerima apa saja yang tertulis dalam artikel ini. Karena kurangnya contoh yang lebih nyata walaupun ada beberapa hal yang disajikan. Tetapi alangkah baiknya kalau penulis menyajikan beberapa contoh dalam Alkitab dan membandingkan dengan kenyataan yang ada sekarang ini misalnya disangkutpautkan dengan bencana alam yang sering terjadi belakangan ini.

2 komentar:

  1. Hallo Bung Sarmen, boleh saya tahu dimana bisa mendapatkan buku Romo Magnis ini? Terima kasih. God bless

    BalasHapus
  2. Di toko buku Kristen ada. BPK Gunung Mulia salah satunya🙏

    BalasHapus