Kamis, 22 April 2010

Laporan Buku “Jalan Yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru” oleh Pdt. Henk ten Napel

Nama : Sarmen Sababalat
NIM : 060571
Tugas : Laporan Buku “Jalan Yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru”
Dosen : Rev. Chandra Gunawan, M.Th

Ringkasan
A. YESUS: ETIKA YANG ESKATOLOGIS
Ciri khas dalam pemberitaan Yesus mengenai Kerajaan Allah adalah dialektika di antara masa depan dan masa kini: pada satu pihak Kerajaan Allah walaupun dianggap telah dekat, akan datang pada masa depan, sehingga murid-murid disuruh mendoakan kedatangannya; tapi pada pihak lain Kerajaan Allah dianggap telah datang dan telah nampak dalam sejarah manusia dan dunia ini (Mat 12:28). Misalnya perumpamaan tentang biji sesawi dan mengenai ragi seperti yang diceritakan oleh Matius. Etika Yesus dapat dianggap sebagai hasil dan konsekuensi dari pemberitaan-Nya yang eskatologis mengenai Kerajaan Allah dan kasih anugerah Allah. Misalnya dalam Matius 13:44-46. Arti Kerajaan Allah menjadi dasar etika: kini dan di sini, keselamatan, sukacita dan arah kehidupan baru telah menjadi nampak.
Hubungan etika dan eskatologi sangat erat. J. Weiss, mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan Yesus, malah baru dapat diterapkan bila Kerajaan Allah telah datang. Selama Kerajaan Allah belum nampak secara penuh, berlakulah suatu hukum darurat. Berbeda dengan itu, menurut A. Schweitzer, krisis eskatologi sudah di depan pintu, dan karena itu segala kaitan yang lama harus dilepaskan. Masa kini hanya sebagai interim atau masa persiapan sementara sebelum Kerajaan Allah datang. Pendekatan yang agak berbeda dengan pemahaman etika interim adalah pemahaman mengenai realized eschatology atau “eskatologi yang terwujud”. Pendapat ini diuraikan oleh C.H. Dodd, bahwa Yesus, memberitakan Kerajaan Allah, keselamatan dan kehidupan kekal sudah terwujud kini dan di sini. Begitu juga H. Ridderbos, berpendapat bahwa tuntutan-tuntutan Yesus itu tidak berhubungan dengan eskatologi. Apa yang dikatakan Yesus melulu hanya berdasarkan kehendak Allah seperti apa yang dikatakan oleh H. Conzelmann “Allah tidak menghendaki sesuatu yang lain daripada kehendak Allah sejak semula”. Sesungguhnya pendorong dan cakrawala etika Yesus adalah eskatologi yang sedang mewujudkan diri. Allah yang menginginkan manusia selamat itu sudah dekat. Dalam pemberitaan Yesus seperti juga apa yang diberitakan oleh Paulus dan Yohanes, terdapat prinsip mengasihi karena dikasihi. Misalnya dalam Mat 5:45. Kasih yang tidak terbatas, yang telah dialami manusia, adalah sumber kasih terhadap sesama manusia itu, malah terhadap musuhnya pun. Bultmann sendiri mengemukakan bahwa pengambilan keputusan-keputusan yang konkrit, menurutnya diserahkan kepada masing-masing manusia secara perseorangan sesuai dengan situasinya. Kebenaran pendapat Bultmann ini adalah bahwa ciri khas kasih muncul di dalam kebebasan dan spontanitas; kasih tidak mungkin diatur secara kekal.
B. ASAL MULA ETIKA KRISTEN DALAM JEMAAT PURBA
Peristiwa Paska berarti bahwa pengharapan eskatologis menjadi intensif, sebab Yesus Kristus yang dinantikan sebagai Anak Manusia memimpin kehidupan jemaat sebagai Tuhan segala kehidupan. Jemaat purba – pada kekiniannya – hidup dengan pengharapan bahwa Tuhan akan datang segera segera dan karena itu sikap dan perbuatan ditandai oleh sikap kewaspadaan. Jemaat purba tidak terlalu terikat pada perkataan-perkataan Yesus secara kaku. Sebaliknya dalam situasi baru, perkataan Yesus diterapkan secara baru pula. Kedudukan hukum taurat dalam jemaat purba ialah bahwa hukum taurat itu mereka tidak tolak karena siapa yang meniadakan hukum taurat akan menduduki tempat yang paling rendah di Kerajaan Surga (Mat 5:19).
C. ASPEK-ASPEK ETIKA DARI INJIL-INJIL SINOPTIK
Kemuridan adalah pusat perhatian Makus. Segera setelah meringkaskan isi pemberitaan Yesus (Mark 1:15), Markus selanjutnya menjelaskan bahwa pertobatan dan kepercayaan itu secara konkrit berarti mengikut Yesus (Mark 3:14b). Bagi Markus, murid yang tidak rela menyerahkan diri dan menerima salib sebenarnya bukan murid yang benar. Peranan para murid ialah menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil (Mark 10:15). Etika Matius secara menentukan berrhubungan dengan oknum dan karya Yesus. Yesus dalam Injil Matius bukan hanya sebagai penafsir PL, tetapi yang memihak kepada orang yang tidak mempunyai penolong (Mat 8:25; 24:42; 18:20; 28:20). Etika Matius bukan sekadar sejumlah hukum, tetapi apa yang diperbuat oleh Yesus (Mat 5:17). Patokan yang sebenarnya bagi Matius mengenai hukum adalah hukum kasih. Keunggulannya misalnya terlihat dalam Matius 19:19. Dalam Lukas, Penekanan etikanya adalah pemeliharaan terhadap orang yang miskin dan yang diperas. Cirinya nampak sejak penampilan Yesus yang pertama. Yang lain ciri khas Lukas mengenai eskatologi adalah mengenai pemberian Roh (Luk 24:49; Kis 2:33). Menurut Lukas, nasihat-nasihat atau paranese memegang peranan penting sehingga dapat membantu orang Kristen dalam mengambil keputusan etis yang konkrit. Lukas menegaskan bahwa agama Kristen bukan agama yang menentang pemerintah tetapi pemerintah merupakan wadah untuk menilai karya Allah yang sedang terjadi di dunia ini. Harta milik dan kekayaan harus dimanfaatkan demi kepentingan bersama (Luk 19:8; 12:21).
D. PAULUS: ETIKA YANG KRISTOLOGIS
Dalam menjelaskan asas-asas etika Paulus, terdapat istilah “indikatif” dan “imperatif”. Rudolf Bultmann mengatakan bahwa paradoks antara indikatif-imperatif adalah soal eksistensi atau keberadaan manusia belaka, sehingga manusia tetap terikat pada keberadaannya dan karena itu sebenarnya tidak mungkin bertindak tidak manusia. Herman Ridderbos sepakat dengan Bultmann, namun menurutnya unsur yang baru itu harus diberi batas oleh keadaan keselamatan di dalam sejarah kini dan di sini. Menurutnya keselamatan itu dicirikan oleh sifat yang mendua, yaitu keselamatan telah dikerjakan, akan tetapi pada pihak lain keselamatan belum nyata secara penuh. Baik indikatif dan imperatif ditentukan oleh keadaan “yang telah” dan serentak “yang belum”. Menurutnya, motivasi etika terletak di dalam dialektik eskatologis, yaitu di mana Kristus yang adalah baik Tuhan yang telah hadir, maupun Tuhan yang masih dinanti-nantikan. Pakar lain E. Kaesemann, menganggap bahwa kebenaran eskatologis bukan melulu pemberian, melainkan juga suatu kekuatan yang diberikan oleh Kristus dan yang berkaitan erat dengan si Pemberi sehingga dapat menghasilkan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Kristus (Flp 1:11). Oscar Cullmann mengatakan bahwa gaya dan struktur hidup baru menurut Paulus adalah suatu cara berpikir tertentu, yang tidak mungkin diganti dengan berbuat, percaya atau berdoa saja. Peranan suara hati akan budi juga menentukan dalam pengambilan keputusan etis. H. Conzelmann mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan etis Paulus “bukan yang khas kristiani” oleh karena orang-orang Kristen hidup dalam dunia yang dipengaruhi oleh adat dan kebudayaan. Jadi menurutnya, Paulus hanya mengganti dasar lama dengan dasar yang baru. Ciri khas lain dari etika Paulus adalah tentang “kerendahaan hati” (tapeinophrosyne). Flavius Josephus berpendapat bahwa kerendahan hati adalah ciri seorang hamba dan oleh karena itu harus disangkal oleh setiap orang yang menghargai dirinya. Unsur-unsur lain dalam etika Paulus yaitu adanya hukum kasih. Hukum kasih ini yang paling utama karena berorientasi pada Kristus, sehingga kasih ditandai dengan ciri-ciri Kristus (1 Kor 13:5).
E. ETIKA PARA PENERUS PAULUS
Baik dalam surat Kolose maupun dalam surat Efesus, yang dikerjakan Kristus dapat diringkaskan dalam satu kata “kasih” yang menjadi pedoman untuk menilai tingkah laku pengikut kristus. Khususnya dalam surat Efesus, keselamatan yang dikerjakan oleh Kristus, harus diterapkan dalam hubungan dengan orang-orang Kristen yang berkebangsaan Yahudi dan non Yahudi. Begitu juga dalam surat-surat pastoral, diarahkan kepada soal-soal organisasi dan pengelolaan gereja. Nasihat rasuli dalam surat-surat pastoral terlihat dalam hal misalnya harta (1 Tim 6:8); kemudian dalam hal minum anggur yang mengajarkan bahwa orang Kristen jangan cenderung menjadi peminum (1 Tim 3:2; Tit 1:7) dan menjadi hamba anggur (Tit 2:3). Dalam surat 1 Petrus, kehidupan Kristen haruslah mencerminkan bahwa mereka adalah umat kepunyaan Allah maka mereka harus memuliakan Allah.
F. ETIKA PEZIARAH DALAM SURAT IBRANI
Fokus penulis surat Ibrani adalah Yesus sebagai pusat dan inti pemberitaannya (1:2; 2:5). Yesus yang diceritakan oleh penulis surat Ibrani merupakan saksi yang terakhir yang telah membawa iman jemaat kepada kesempurnaan (12:2). Dalam hal inilah, Yesus menjadi teladan bagi orang Kristen untuk bertindak. Salah satu titik berat etika surat Ibrani adalah ajakan untuk bertekun dan rela menanggung sengsara. Etika surat Ibrani adalah etika bagi umat Allah sebab orang Kristen merupakan umat Allah yang berjalan bersama-sama dengan orang percaya. Surat Ibrani kurang menekankan tugas gereja di dunia tetapi melalui perilaku pribadi.
G. NASIHAT-NASIHAT DALAM SURAT YAKOBUS
Pandangan Yakobus mengenai nisbah antara perbuatan dan iman kepercayaan terdapat dalam 2:14, dst. Perbedaan antara Paulus dengan Yakobus di mana menurut Yakobus, perbuatan-perbuatan telah dijadikan prasyarat untuk dibenarkan, malahan perbuatan-perbuatan dapat menutupi banyak dosa (5:20) sedangkan menurut Paulus, bahwa manusia diselamatkan oleh karena beriman kepada Allah. Demikian juga dengan hukum taurat, menurut Yakobus bukan kemerdekaan melaksanakan hukum, tetapi justru menjadi nampak karena mereka menuruti hukum. Ada dua pilihan bagi orang Kristen menurut surat Yakobus, yaitu: menjadi sempurna dan utuh (1:4); dan tidak mendua hati (1:8). Pokok lain yang ditonjolkan oleh surat Yakobus adalah dosa-dosa yang dilakukan lidah (3:1-12). Penekanan lain juga terlihat dalam memperhatikan orang miskin karena orang-orang kaya tidak memperhatikan orang-orang yang di sekitarnya yang hidup dalam kemiskinan (5:1-6).
H. SURAT-SURAT DAN INJIL YOHANES
Kristus merupakan satu-satunya pusat dan inti dalam pemberitaan Yohanes, sehingga tak dapat tidak etikanya juga dapat berdasarkan satu-satunya dasar itu yaitu: Kristus. Kristologi menjadi dasar etika terlihat dalam pidato Yesus mengenai pokok anggur dan ranting-rantingnya (Yoh 15:1, dst). Sehingga orang Kristen dituntut untuk merendahkan diri seperti yang dilakukan oleh Yesus ketika membasuh kaki murid-murid-Nya (Yoh 13:1-17). Etika Yohanes menekankan bahwa murid-murid bukan dari dunia. Ciri ini berkaitan dengan kristologi sebab Kristus bukan dari dunia, Dia hanya diam di antara manusia (Yoh 1:14). Kristologi yang diterapkan dalam etika terlihat misalnya ketika Yesus bercakap-cakap dengan perempuan Samaria (Yoh 4). Dalam cerita ini diangkat masalah sosial yang menjadi perdebatan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Hidup orang Kristen menurut Yohanes dapat dirangkumkan dengan istilah “saling mengasihi”. Perintah kasih dicirikan dengan istilah “perintah baru” (Yoh 13:34). Jadi dalam karangan-karangan Yohanes, kasih merupakan hal yang paling tinggi yang harus dimiliki oleh orang Kristen dan ini harus diterapkan dengan melihat teladan yang diajarkan oleh Yesus.
I. PANGGILAN UNTUK BERTOBAT KEMBALI DI WAHYU YOHANES
Ciri khas Wahyu Yohanes adalah kait-mengaitnya pengharapan jemaat Kristen dengan diri Kristus, yang adalah Tuhan gereja dan dunia. Pengharapan itu tidak hanya masa depan tetapi juga menjadi nyata dalam kehidupan sekarang. Dorongan eskatologis menjadi nyata dalam surat-surat kepada ketujuh jemaat (pasal 2-3). Mengenai panggilan untuk bertobat, terdapat sejumlah tuntutan untuk bersikap tabah dan tegas. Sikap ini secara langsung disinggung dalam surat kepada jemaat di Laodikia (Wah 3:15). Bukan hanya jemaat Laodikia, jemaat Sardis pun dicela karena dosanya mirip dengan jemaat Laodikia. Perselisihan dengan pemerintah digambarkan oleh si pengarang Wahyu Yohanes dengan mempergunakan tradisi-tradisi mitologi. Dengan tradisi-tradisi itu, si pengarang Wahyu Yohanes melukiskan gambaran yang mengerikan menyangkut seekor binatang yang melambangkan kekaisaran Romawi (Wah 13). Dalam menghadapi pemerintah, pengarang Wahyu Yohanes tidak menganjurkan untuk memberontak, tetapi menganjurkan pertentangan yang tidak bersenjata dan pasif, yaitu “yang penting di sini ialah ketabahan dan iman” (13:10b). Apabila negara dan pemerintah menganggap diri sebagai ilah, maka jalan satu-satunya bagi orang Kristen adalah menentang kuasa itu karena kuasa yang paling kuat adalah kuasa Allah biarpun umat Allah itu menderita dan mengalami penderitaan tetapi pada akhirnya nanti dapat diselamatkan oleh Kristus.

Evaluasi
Etika Perjanjian Baru sarat hubungannya dengan eskatologi artinya bahwa eskatologi memiliki hubungan dengan etika. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena kita harus mencari suatu pendekatan yang mencakup keduanya. Schweitzer mengatakan bahwa ajaran etis Yesus hanya bersifat sementara saja. Jika Kerajaan Allah sudah datang, maka kedatangan-Nya itu pasti harus mengubah patokan etis para anggotanya. Bagi Yesus yang terpenting dalam etika adalah watak (batin) bukan hanya perbuatan (lahir), karena watak menentukan perbuatan. Yesus menekankan pentingnya dorongan hati dengan menarik perhatian pada peran kehendak manusia. Tingkah laku yang etis tidak dapat dipaksakan pada kehendak degil. Yesus menuntut adanya penyerahan diri sepenuhnya pada kehendak Allah yang sempurna, yang berarti bahwa kehendak manusia menjadi terbuka pada pengaruh akan kebaikan, sehingga tidak ada pengaruh yang lain. Tetapi penyerahan diri itu dapat dipaksakan.
Begitu juga etika di masa jemaat purba, ada unsur-unsur yang terpenting yaitu orang-orang percaya dalam gereja mula-mula tidak menggantungkan bimbingan moralnya pada kelompok elit guru-guru moral. Bahkan setiap orang Kristen didiami dan dibimbing oleh Roh Kudus sehingga ada suatu dasar bersama untuk menanggapi masalah-masalah etis.
Memang penting untuk menyelidiki hubungan antara etika Paulus dengan etika Yesus. Paulus tentu mengetahui etika Yesus, meskipun sulit membuktikannya dan bagaimanapun juga ia menerimanya dari orang lain. Etikanya sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran etis Yesus. Sebaliknya segi yang memperlihatkan kesejajaran yang erat misalnya ajaran mengenai kasih (agape), sikap terhadap hukum Taurat serta perlunya bantuan Roh Kudus dalam membuat keputusan moral. Nasihat moral yang diberikan oleh Yesus maupun Paulus hanya dapat dimengerti kalau dikaitkan dengan penyerahan diri dalam iman. Walaupun antara Paulus dan Yakobus terdapat perbedaan. Menurut Paulus yang menyelamatkan manusia adalah ketika dia beriman kepada Yesus, tetapi menurut Yakobus berdasarkan perbuatan. Karena itu, ajaran etika Paulus dapat dijadikan dasar bagi suatu sistem etika umum. Etikanya dengan tegas diperuntukkan bagi manusia baru dalam Kristus. Ia yakin bahwa manusia “dalam kristus” akan bertindak dan berpikir dengan cara-cara yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan umum.
Etika Perjanjian Baru merupakan landasan untuk berperilaku benar di manapun kita berada. Ketika kita menerapkan etika ini, maka kita sudah mewujudkan kasih seperti yang sudah diajarkan oleh Yesus. Yesus menjadi model untuk perilaku setiap manusia yang peduli dengan siapa saja bukan hanya untuk orang-orang yang bependidikan tetapi juga yang merasa dirinya tidak dihargai oleh masyarakatnya. Etika Perjanjian Baru merupakan jalan yang utama untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dalam dunia ini. Kelebihan dari buku ini adalah menjelaskan secara terperinci mengenai etika Perjanjian Baru dengan memberikan berbagai contohnya. Ada banyak pandangan baru yang saya dapatkan menyangkut etika Kristen sekarang ini yang selalu dipertanyakan. Kalau kelemahannya adalah bahwa terlalu tidak menyinggung tentang pergumulan yang ada sekarang ini. Buku ini hanya memberikan pandangan baru sedangkan aplikasi untuk sekarang ini tidak ada. Saya melihat bahwa memang baik untuk memberikan pandangan baru tetapi bagaimana nantinya seorang yang membaca buku ini tidak mendapat aplikasi dalam dirinya? Tentu dia hanya mengatakan bahwa semuanya karena “kasih” bukan yang lain walaupun dalam kenyataannya memang benar bahwa seluruh hidup kita harus mencerminkan kasih melalui perbuatan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar