Kamis, 22 April 2010

Kronik Seputar Proklamasi Kemerdekaan


Oleh: Sarmen Sababalat



Pendahuluan
Kronik seputar kemerdekaan Indonesia memang sangat terasa semasa peperangan yang terjadi sebelum kemerdekaan Indonesia. Banyak hal yang terjadi seputar kemerdekaan Indonesia. Dalam paper ini kita akan melihat kronik seputar kemerdekaan Indonesia itu.

Pembahasan
Menjelang Proklamasi
Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 08.15, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, menyebabkan lebih 70 ribu orang dari kota yang berpenduduk 350 ribu jiwa tewas seketika. Tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan ke Nagasaki. Sepertiga kota itu hancur dan tidak kurang 75 ribu orang tewas. Kaisar Hirohito menganggap Jepang sudah tidak mungkin lagi meneruskan peperangan dan kemudian memaklumkan kekalahannya -- menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Ketika Jepang bertekuk lutut, yang mendengar kekalahan itu antara lain Sutan Sjahrir. Ia dikenal sebagai tokoh anti-Jepang yang bekerja di bawah tanah dan selalu mendengarkan siaran radio gelap. Pemuda Minang bertubuh kecil ini kemudian menyebarkan berita kekalahan Jepang itu kepada para pemuda. Para pemuda pun mendesak Bung Karno agar segera memproklamasikan kemerdekaan, bahkan kemudian menculiknya bersama Bung Hatta dan Ibu Fatmawati ke Rengasdengklok, kota kecamatan di Karawang, Jawa Barat. Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00, di salah ruangan Lembaga Bakteriologi, di Pegangsaan Timur 17 (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI), para pemuda dan mahasiswa mengadakan pertemuan di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasilnya, pukul 23.00 mereka mengutus Wikana dan Darwis mendatangi Bung Karno dan mendesak agar esok hari (16/8) memproklamasikan kemerdekaan. Bung Karno menolak. Alasannya ia dan Bung Hatta tidak ingin meninggalkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Apalagi PPKI esoknya akan rapat di Jakarta. Mendengar penolakan itu, Wikana mengancam, ''Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, esok akan terjadi pertumpahan darah di Jakarta.'' Bung Karno pun naik pitam, ''Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga.'' Wikana terkejut melihat kemarahan Bung Karno itu. Ancaman para pemuda rupanya bukan omong kosong. Pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00, setelah sahur, mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sini sekali lagi para pemuda di bawah pimpinan Sukarni gagal memaksa keduanya untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Menjelang Proklamasi di Kediaman Bung Karno
Menjelang larut malam, Mr Achmad Subardjo dalam perjalanan dari kediamannya di Cikini menuju kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi), lebih dulu mampir di kediaman Bung Hatta di Jl Diponegoro. Ia mengajak Hatta yang tengah sibuk mempersiapkan rapat Badan Persiapan Kemerdekaan RI keesokan harinya (16 Agustus) turut serta ke kediaman Bung Karno. Keduanya tiba di kediaman Bung Karno pukul sebelas malam. Bung Karno sedang duduk dikelilingi para pemuda. Suasananya sangat tegang karena emosi kedua belah pihak dalam suhu yang panas. ''Sewaktu kami memasuki ruang duduk tampak jelas kelegaan Sukarno atas kedatangan kami. Kehadiran kami rupanya memberi pengaruh yang menenangkan, karena Sukarno telah menguasai kembali gejolak emosinya. Sukarno menceritakan kepada kami bahwa para pemuda tersebut telah datang untuk mendesaknya mengambil tindakan dalam hubungan proklamasi kemerdekaan,'' tulis Achmad Subardjo yang usianya lima tahun lebih tua dari Bung Karno dan enam tahun di atas Bung Hatta. Wikana dan Darwis mewakili kelompok muda yang dipimpin Chaerul Saleh dan Sukarni ini datang ke kediaman Bung Karno pukul sepuluh malam. Para pemuda ini mendesak agar proklamasi dilaksanakan malam itu juga. Bung Karno menyatakan bahwa ia tidak bisa memutuskan hal ini sebelum membicarakannya dengan teman-teman lain. Apalagi pada 16 Agustus 1945 BPUPKI akan bersidang. Bung Karno kemudian mengemukakan pendapat Bung Hatta bahwa mereka berdua tidak akan membiarkan diri mereka digagahi atau digertak. Terjadilah ketegangan antara Bung Karno dengan para pemuda. ''Wikana seperti dituturkan Achmad Subardjo tetap mendesak agar Bung Karno mengumumkan Indonesia telah bebas dari cengkeraman Jepang melalui stasiun radio malam itu juga. Terjadi juga keributan antara keduanya. Para pemuda yang kecewa berat meninggalkan kediaman Bung Karno pukul 11.30 malam. Rupanya ancaman mereka bukan gertak sambal. Keesokan harinya saat sahur, Bung Karno dan Bung Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdenglok, sekitar 60 km timur Jakarta. Achmad Subardjo, Menlu pertama RI, ini baru mengetahuinya keesokan harinya (16/8/1945) pukul delapan pagi. Ia menjadi gelisah karena pada pukul sepuluh pagi akan ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan. Bung Karno dan Bung Hatta menjadi ketua dan wakil ketuanya. Pencarian Bung Karno dan Bung Hatta pun dilakukan. Baru menjelang sore para pemuda melalui Wikana menyatakan bahwa mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdenglok. ''Penculikan ini karena khawatir bahwa keduanya akan dibunuh oleh tentara Jepang dan paling sedikit digunakan sebagai sandera,'' papar Wikana. Dengan mobil Skoda tua pada pukul empat sore, Subardjo cs menuju Rengasenglok dan tiba di sana malam hari. ''Apakah Jepang sudah menyerah?'' tanya Bung Karno. ''Saya kemari untuk memberitahukannya,'' jawab Ahmad Subardjo yang baru mengetahuinya menjelang siang dari Laksamana Maeda. Dan pada malam itu juga disusunlah naskah proklamasi oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo dalam rapat yang berlangsung pada pukul empat dinihari di Jl Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat. Keesokan paginya pukul sepuluh Bung Karno membacakan naskah proklamasi itu.

Rumah Bung Karno
Sejarah Indonesia terasa hambar. Bahkan bongkar pasang. Buktinya, banyak peninggalan sejarah telah dibongkar dan dihancurkan. Tidak terkecuali rumah kediaman Bung Karno. Padahal, rumah di Jl Proklamasi (dulu Jl Pegangsaan Timur) 56, Jakarta memiliki nilai sejarah paling monumental. Dari tempat ini pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi diproklamirkan kemerdekaan RI. Kini, rumah yang bagian mukanya dibangun patung Proklamator Sukarno - Hatta, dijadwalkan akan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. ”Agar nilai sejarahnya lebih berbobot, pembangunan kembali rumah Bung Karno sebaiknya dilakukan ditempat semula,” kata drs Nurhadi, seorang staf pada Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta. Tanpa harus menggusur Tugu Proklamator, masih terdapat cukup luas pekarangan, di gedung yang sekarang bernama Perintis Kemerdekaan. Ali Sadikin, ketika membuka seminar: ”Potensi Ekonomi Pelestarian Kawasan dan Bangunan Tempo Doeloe” pekan lalu ikut mendorong dibangunnya kembali kediaman Bung Karno. Bahkan, mantan gubernur DKI itu mengimbau masyarakat dan LSM untuk juga ikut mendorongnya. ”Belum terlambat untuk membangun kembali rumah Bung Karno, ”katanya. Sebetulnya, keinginan untuk membangun kembali rumah yang 55 tahun lalu dijadikan tempat proklamasi kemerdekaan RI sudah tercetus sejak lama. Seperti dikemukakan Ali Sadikin, sejak menjadi gubernur DKI ia sudah berencana membangunnya kembali. ”Bahkan saya telah menyiapkan dananya. Tapi, Pak Harto tidak setuju karena akan membangun patung proklamator,” kata Bang Ali. Agar pembangunan kembali rumah Bung Karno dapat dipertanggungjawabkan terhadap keabsahan sejarah, pihak Dinas Museum dan Pemugaran DKI, kata Nurhadi, tengah meneliti kembali bentuk rumah saat masih didiami presiden pertama RI. Seperti jumlah dan letak kamar, jenis perabot yang digunakan, tempat tidur Bung Karno dan keluarga. Di antara putera-puteri Bung Karno, hanya si sulung Guntur yang dilahirkan di tempat ini.

Laksamana Maeda
Kesibukan luar biasa tampak di sebuah rumah berlantai dua di Jl Teji Meijidori No 1. Terlihat puluhan pemuda bergerombol, ada yang duduk-duduk di teras rumah tersebut. Ada pula yang duduk-duduk di rumput pekarangan sambil mengobrol. Mereka menampakkan wajah yang serius, tanpa memperdulikan sengatan angin dingin pada dini hari menjelang subuh. Para pemuda ini dengan sabar tengah menunggu apa yang akan diputuskan oleh para pimpinan mereka di lantai satu rumah tersebut.
Peristiwa diatas bukan terjadi di Jepang. Tapi di Jakarta. Yang disebut Jl Teji Meijidori No. 1 (kini Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat), adalah kediaman Laksamana Tadashi Maeda, panglima AL Jepang di Indonesia. Di kediaman petinggi militer Jepang inilah, Bung Karno, Bung Hatta, dan para tokoh pergerakan kemerdekaan, tengah menyusun teks proklamasi. Mereka seolah-olah bergelut dengan waktu, karena teks proklamasi itu akan dibacakan pagi harinya, 17 Agustus 1945. Detik-detik menjelang proklamasi itu, memang menegangkan bagi para pemuda itu. Pada 14 Agustus petang, Syahrir memberitahukan kepada Bung Karno dan Hatta, yang bersama dengan dr Radjiman Wedyodiningrat baru pulang dari Dallath, Vietnam memenuhi undangan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara. Pemberitahuan itu tentang kekalahan Jepang dari Sekutu. Tak ada yang tahu berita ini, kendati kekalahan Jepang itu sudah terjadi pada 6 Agustus 1945, ketika bom atom pertama membakar Hiroshima. Sebanyak 70 ribu dari 350 ribu penduduk Hiroshima, tewas. Jepang kian takluk ketika bom atom kedua dijatuhkan ke kota Nagasaki, menewaskan 75 ribu penduduknya. Mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda. Jam menunjukkan 17 Agustus pukul 02.00. Maka disusunlah teks proklamasi. Rumusan itu ditulis di atas kertas buku catatan bergaris biru, dari seorang hadirin. Rampung, Bung Karno meminta persetujuan yang hadir. Gemuruh suara menyatakan setuju. Teks proklamasi kemudian diketik Sayuti Melik, di dekat dapur kediaman Laksamana Maeda. Rapat berakhir pukul 04.00. Dan pukul 10.00 pagi pun Indonesia sudah merdeka. Di istana negara Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta". Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan "Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.

Penutup
Menjelang kemerdekaan Indonesia, sering terjadi ketegangan antara pemuda dengan Bung Karno. Tak terkecuali juga para pemimpin pejuang lainnya yang menginginkan agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan. Karena pertentangan mereka itu, tidak mendapat jalan keluar bahkan Bung Karno sendiri menolak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia karena melihat belum waktunya untuk menyatakan kemerdekaan dan karena Jepang belum menyerah. Takut nanti kalau Jepang akan menyerang lagi. Tetapi para pemuda tetap menolak dan mereka semakin mendesak agar Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indoesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi karena ini tidak mendapatkan hasil dan para pemuda tidak puas, akhirnya mereka menculik Soekarno dan dibawa ke Rengasdengklok. Ketika diberitahukan bahwa Jepang sudah menyerah, pada malam itu juga disusunlah naskah proklamasi oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo dalam rapat yang berlangsung pada pukul empat dinihari di Jl. Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat. Keesokan paginya pukul sepuluh Bung Karno membacakan naskah proklamasi itu.
Kalau kita melihat bahwa menjelang kemerdekaan Indonesia, banyak terjadi ketegangan dari pihak pemimpin dan juga pemuda. Tetapi pada akhirnya mereka mendapatkan kesepakatan sehingga kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Tidak jarang juga di dalam gereja terjadi hal yang sama. Untuk memecahkan persoalan, selalu saja terjadi ketidaksetujuan antara yang satu dengan yang lain. Tetapi, itu akan bisa kita lewati apabila kita selalu mengandalkan kekuatan dari Tuhan karena hanya Tuhan yang mampu memberikan jalan keluar dalam menyelesaikan masalah itu. Jangan terlalu mengandalkan kepintaran atau keahlian yang kita miliki karena semua itu berasal dari Tuhan bukan atas kekuatan kita sendiri. Tanpa Tuhan kita tidak akan menjadi pintar bahkan tidak akan menjadi orang terkenal. Oleh karena itu, apapun yang kita lakukan, haruslah selalu melalui pertolongan Tuhan agar kita dapat menyelesaikan masalah yang sedang kita hadapi itu.
Dari cerita sekitar kemerdekaan Indoesia di atas, maka kita dapat belajar bahwa untuk menyelesaikan masalah itu harus dengan tenang dan sabar. Jangan dengan kekerasan karena kalau dengan kekerasan akan berakibat buruk dan bahkan persoalan itu tidak akan dapat diselesaikan. Oleh karena itu, kita juga sebagai calon pemimpin gereja, belajar untuk selalu menerima pendapat orang lain, jangan kta mengabaikan apa pendapat mereka karena siapa tahu pemdapat yang mereka usulkan itu ada gunanya dan sangat baik untuk kemajuan gereja kita. Masalah itu bisa terselesaikan kalau ada saling menghargai, bukannya saling melangkahi atau saling memojokkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar