Jumat, 23 April 2010

Laporan Buku "Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia" pengarang: Dr. P.A. van der Weij


Oleh: Sarmen Sababalat

PENDAHULUAN
Sekarang ini banyak pandangan tentang manusia: siapa dia, bagaimana nanti kalau dia akan mati, apa yang harus dilakukan dalam hidupnya ketika dia berinteraksi dengan orang lain, apa keinginan-keinginan yang terdalam yang ada dalam dirinya, dll. Inilah yang dipertanyakan oleh para filsuf. Banyak filsuf yang mengemukakan pendapatnya walaupun berbeda-beda. Karena memang dasar dari pemikiran filsuf itu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan di mana dia berada. Manusia memiliki kelebihan dan keunggulannya. Para filsuf selalu mencari jalan untuk menjelaskan manusia itu seutuhnya. Maka dalam buku tentang “Filsuf-filsuf Besar tentang manusia” yang memiliki 26 bab dan 184 halaman ini akan membahas pandangan para filsuf tentang manusia dan apa ultimnya setelah dia mati.

PEMBAHASAN
Dunia Khayalan Plato
Menurut Plato manusia harus diberi perhatian penuh. Tatap muka dengan Plato berarti perjumpaan dengan suatu pandangan filosofis tentang dunia dan manusia yang luar biasa. Visinya sangat spiritualis. Plato adalah seorang filsuf yang merasa jijik terhadap sistem politik dan pemerintahan yang tidak adil. Lalu, ia mulai bermenung tentang negara ideal di mana hukum serta keadilan berkuasa sepenuhnya. Menurutnya, keadilan adalah harmoni atau keselarasan. Keadilan berarti memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia menggunakan pembagian jiwa atas tiga fungsi: suatu bagian keinginan (epithymia), suatu bagian energik (thymos), dan suatu bagian rasional (logos) sebagai puncak serta pelingkup. Jika keinginan serta energi di bawah pimpinan rasio dapat berkembang dengan semestinya, maka akan timbul manusia yang harmonis dan adil. Menurut analogi dengan bagian-bagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara juga sebagai Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas tiga bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa. Pertama-tama terdapat golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani dan pedagang (epithymia), lalu ada golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit (thymos), dan akhirnya ada golongan pejabat (logos) yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan. Plato memusatkan segala perhatiannya pada golongan kedua, sebab dari golongan inilah para pemimpin harus direkrut. Golongan ini harus hidup dengan cara komunistis, tanpa uang dan harta milik lainnya, tanpa istri dan anak-anak. Mereka harus menganggap keutamaan keberanian sebagai cita-cita tertinggi. Jadi dari para pemimpin, terutama diharapkan kebijaksanaan serta keadilan dan mereka memenuhi persyaratan (mempelajari politik dan filsafat) itu karena memiliki bakat rasional. Jadi jika setiap orang diserahi tugas sesuai dengan kemampuannya dan mereka menunaikan tugas itu dengan tekun dan penuh tanggung jawab, maka akan terbentuk suatu negara yang “adil” di mana setiap orang memberikan bagiannya dan juga menerima bagiannya di bawah pimpinan penguasa-penguasa yang arif bijaksana.

1. Plato
Manusia: Manusia pada awal mula ia adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Namun, kita tidak setia pada peruntukan kita ini, kita tidak mewujudkan makna kehidupan sebagaimana menjadi kewajiban kita, kita bersalah karena menyimpang dari kiblat idea-idea itu. Kita langsung terhukum dengan dipenjarakannya jiwa dalam tubuh. Kita bagaikan malaikat-malaikat yang terjatuh dan sebagai hukuman dijelmakan dalam tubuh. Dunia jasmani dan tubuh, bagi kita, menjadi kemungkinan-kemungkinan buruk untuk tersesat lebih jauh dan tenggelam dalam rawa-rawa materiil dan sensual. Dengan menyerahkan pada rayuan dunia dan tubuh, manusia akan menyimpang semakin jauh dari asal-usul serta peruntukannya. Kemungkinan yang paling jahat ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme radikal) dan kepada benda-benda jasmani (materialisme dan sensualisme) hingga akhirnya terputus sama sekali dari yang umum, ideal, dan ilahi. Kalau begitu, neraka menjadi kemungkinan kita yang paling ultim. Akan tetapi, menurut Plato tidak perlu dunia serta tubuh menarik manusia ke bawah dan merendahkannya asal saja dia memberi kesempatan kepada roh atau logosnya. Roh kita dapat menemukan kembali pengetahuan dari masa surgawi dahulu. Perhatian indrawi untuk gejala-gejala yang kelihatan dapat sekali lagi menggugah hati manusia. Dengan memperhatikan tanpa pamrih realitas yang kelihatan ini, rohnya diantar kembali pada idea-idea, kepada dunia ideal. Bila kita dengan demikian memandang benda-benda yang kelihatan itu penuh perhatian yang mengagumkan dan tanpa pamrih, maka benda-benda itu tidak menjauhkan kita dari dunia ideal, tetapi sebaliknya justru menimbulkan kembali idea-idea itu. Jadi, bagi semua manusia, dunia dan tubuh itu bersifat ambivalen, artinya dunia serta tubuh dapat merayu dia ke arah kemungkinan-kemungkinan yang jahat, tetapi dapat juga mendorong dia kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik. Manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke atas, yaitu cinta (eros).
Jadi, inilah sesungguhnya peruntukan dan makna keberadaan kita: memanjat terus ke arah “keindahan ilahi itu sendiri”, menempuh kehidupan yang berkenan di hati para dewa. Akan tetapi, waktu hidup di dunia ini kita senantiasa dalam perjalanan dan baru sesudah mati dapat kita wujudkan kemungkinan ultim kita, yaitu sebagai jiwa murni hidup terus dalam alam ideal atau adiduniawi, sangat mirip dengan Allah. Dalam keadaan itu, kehidupan kita menjadi lagi semata-mata spiritual, tanpa penjelmaan dalam materi apapun, jadi kita akan hidup sebagai sejenis malaikat. Menurut Plato, kematian bukan kemungkinan ultim karena bagi banyak orang, kematian hanyalah permulaan suatu reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya sebelumnya.

2. Plotinos, Filsuf Yang Berkontemplasi
Menurut pendapat Plotinos, asal usul itu tidak bisa disamakan dengan Ada dan pemikiran itu sendiri, tetapi merupakan sumber transendental dan tak berdiferensiasi dari kedua-duanya. Kesatuan asali dari Ada dan pemikiran itu, oleh Platinos disebut “Yang Satu”: kemungkinan pertama dan terdalam dari segala Ada dan pemikiran. “Yang Satu” itu bukan Ada atau sesuatu yang ada, melainkan Adi-ada, Yang Tak Berhingga, dan Absolut. Dengan perkataan lain, ”Yang Satu” adalah Allah. Dari kesatuan yang tak berdiferensiasi itu keluarlah kesatuan yang berdiferensiasi menjadi Ada dan pemikiran: Nus atau Roh. Nus merupakan Ada yang berpikir serta pemikiran yang berada dan dalam berpikir itu, ia menimba dari “Yang Satu” sebagai sumbernya. Alam semesta adalah ciptaan tidak langsung dari Nus dan ciptaan langsung dari Psykhe. Alam semesta terdiri dari benda-benda materiil. Karena Psykhe memancarkan cahaya dan kehidupannya ke dalam ruang itu, ke dalam materi itu, maka materi ditentukan secara positif, mendapat cahaya dan kehidupan. Ruang kosong merupakan batas terakhir dari kemungkinan Psykhe, Nus, dan “Yang Satu” untuk beremanasi dan beradiasi. Ruang kosong merupakan batas terakhir dari yang dapat dipikirkan dan dapat berada. Jadi, suatu benda adalah materi yang diangkat oleh jiwa hingga berada dan hidup. Tanpa ragu-ragu Platinos menerima adanya banyak jiwa individual yang sudah hadir dalam kosmos noetos itu tanpa tubuh. Jiwa manusia itu ambivalen serta bipolar karena di satu pihak jiwa-jiwa individual mengalami suatu dorongan rohani untuk mengarahkan perhatian dan cintanya kepada asal usulnya, yaitu Jiwa Dunia dan di lain pihak terdapat juga suatu daya dalam dirinya untuk berkiblat pada dunia yang lebih rendah. Bila jiwa-jiwa itu tetap bersatu dengan Jiwa Dunia, maka mereka bebas dari penderitaan serta nafsu dan bahkan dapat membantu Jiwa Dunia dalam mengatur alam semesta. Akan tetapi, perhatian dan cinta jiwa-jiwa itu untuk keseluruhan ternyata kendor dan mereka menarik diri dalam individualitas yang menyendiri dan bahkan tenggelam dalam suatu tahap yang semata-mata lahiriah serta badani. Makna kehidupan di dunia ini ialah: pada suatu ketika memperoleh penerangan, sekali lagi mendapat hasrat akan yang surgawi dan menyucikan diri dari segala kotoran duniawi, “Orang harus mengabaikan segala sesuatu yang lain untuk berpaling kepada Tuhan dan mempersatukan diri dengan-Nya bila semua pembungkus duniawi akan musnah. Maka itu, kita harus bergegas untuk melepaskan diri dari dunia; kita harus berkabung mengenai belenggu kita dan merangkum Tuhan dengan segenap hati supaya tidak tinggal lagi dalam diri kita yang tidak melekat pada Dia”.
Kemungkinan ultim manusia terdiri dari ekstasis, perjumpaan dengan Tuhan yang melampaui indra manusia: pneuma Tuhan turun atas manusia dan mengakibatklan suatu kesatuan cinta yang mesra dan tak terperikan dengan Dia. Akan tetapi, baru sesudah kematian kita, kemungkinan ultim dan makna kehidupan itu diberikan sebagai suatu keadaan tetap. Intinya ialah keterikatan mesra dengan Tuhan; Tuhan menjadi segalanya dalam segalanya. Di sini kita mempunyai gagasan “kembalinya semua makhluk rasio ke Allah”, asal usul mereka yang pertama. Memandang Tuhan atau “kontemplasi akan Tuhan”, oleh Platinos disebut suatu cara melihat yang lain, suatu “ekstasis”, suatu cara untuk keluar dari dirinya, suatu penyatuan, suatu penyerahan diri, suatu kerinduan untuk menyentuh dengan langsung. Apabila jiwa telah melampaui segala sesuatu yang ada, maka ia sampai pada kontemplasi akan apa yang letaknya lebih jauh, apa yang ada “sebelum dan di atas segala sesuatu”. Pemenuhan kerinduan itu dapat disebut kemungkinan ultim kehidupan kita, tujuan akhir kita. Bila kerinduan itu terpenuhi, maka jiwa tidak lagi merupakan suatu makhluk yang berdiri sendiri dan ia melampaui hakikatnya sendiri sejauh ia berpadu dengan “Yang Satu” itu: “Apabila seseorang melihat dirinya sendiri dalam keadaan ini, maka ia membawa gambaran Yang Satu dalam dirinya dan apabila ia melebur dengan Gambaran Asali ini, maka ia sudah mencapai tujuan perjalanannya”.

3. Aristoteles, Humanis Duniawi
Menurutnya, benda-benda kosmis tercantum dalam suatu proses kelahiran, perubahan, dan kebinasaan yang berlangsung tak henti-hentinya, namun ada juga sesuatu yang tinggal tetap sebagai subyek perubahan. Setiap terjadi perubahan, ada dua gejala: ada sesuatu yang menjadi lain, yaitu bentuk, dan ada sesuatu yang tinggal sama, yaitu materi, sebagai subyek perubahan. Untuk dapat menjelaskan perubahan apa saja perlu kita menerima dua prinsip: materi dan bentuk. Menurutnya, tidak saja terjadi perubahan-perubahan aksidental, tetapi juga perubahan-perubahan substansial. Perubahan substansial adalah suatu perubahan yang menyangkut hakikatnya. Perubahan substansial harus dijelaskan secara analog dengan perubahan aksidental, dengan menggunakan hilemorfisme juga atau gabungan materi dan bentuk. Akan tetapi Aristoteles membedakan antara dua macam materi. Materi kedua adalah bahan yang kelihatan, seperti misalnya batu alam, kertas, burung, dsb. Materi pertama bukan bahan yang dapat dilihat, melainkan hanya suatu prinsip dari bahan: tidak dapat dilihat, tidak berkualitas atau berkuantitas, tidak dapat dimasukkan dalam kategori apapun. Materi pertama juga bukan benda, bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun merupakan realitas, meski sangat minim, hampir tidak apa-apa! Materi pertama sama sekali tidak ditentukan dari dirinya sendiri, tetapi mempunyai kesanggupan untuk menerima segala macam bentuk substansial. Secara garis besar, prosesnya berjalan sebagai berikut: dari potensi materi pertama itu mula-mula timbullah bentuk-bentuk substansial dari benda-benda anorganis, kemudian dalam wilayah tumbuh-tumbuhan, materi itu menjadi landasan bagian suatu bentuk atau prinsip tumbuhan, lalu dari potensialitasnya muncul bentuk atau prinsip hidup dari wilayah binatang, yaitu psike dan akhirnya juga psike atau prinsip hidup manusia. Jadi menurut Aristoteles ada dua hal yang absolut dan berada karena dirinya sendiri: dunia dan Tuhan. Dengan demikian Aristoteles tidak berhasil menjelaskan tentang manusia. Sejauh manusia merupakan suatu makhluk biologis-psikis, maka Aristoteles hanya dapat melihatnya sebagai gabungan dari materi pertama dan jiwa yang merupakan bentuk atau prinsip hidup. Namun, dalam diri manusia, ia menemukan lagi sesuatu yang sifatnya lebih tinggi, yaitu aktivitas-aktivitas yang menurutnya melampaui potensi materi dan bersifat semata-mata rohani, antara lain berpikir dan berkehendak. Dalam diri manusia suatu gabungan dari tiga hal, yaitu materi, psike, dan nus.
Kemungkinan ultimnya: Seluruh kegiatan manusia terarah pada sesuatu yang “baik”, sebagai hal yang dituju oleh segala-galanya. Kebaikan tertinggi yang dituju oleh kita semua adalah “kebahagiaan”. Kebahagiaan yang “sejati” dan sempurna oleh Aristoteles dicari dalam “apa yang membuat kehidupan pantas dituju pada dirinya sendiri dan tidak kekurangan suatu apa pun”. Hidup bahagia adalah hidup menurut keutamaan dan hidup berkeutamaan terdiri dari usaha tak henti-hentinya untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan manusiawi kita yang positif. Kebahagiaan sempurna adalah mempraktikkan keutamaan tertinggi dan menurut Aristoteles, itu tidak lain daripada mewujudkan “yang paling baik” dalam diri kita, yaitu bakat rasional kita. Rasio adalah “sesuatu yang bersifat ilahi” atau “yang ilahi dalam diri kita”. Aktivitas rasio “bersifat kontemplatif”, karena rasio tidak terarah pada suatu tujuan di luar dirinya sendiri, bersifat berdikari, dan merangkum “kebahagiaan sempurnanya”. Keutamaan itu sesungguhnya sama dengan hidup kontemplasi filosofis dalam waktu senggang dan “akan merupakan kebahagiaan sempurna manusia, asal saja dijalankan seumur hidup”. Kehidupan seperti itu sebenarnya sesuatu yang adi-manusiawi dan hanya mungkin “sejauh ada sesuatu yang ilahi dalam diri manusia itu”. Jadi hidup serupa dengan Tuhan, dari dahulu, di sini secara harafiah kembali lagi. Di satu pihak, ia melihat makna dan kemungkinan ultim dari hidup kita sebagai semata-mata dalam manusiawi, yaitu perwujudan bakat-bakat yang paling baik dalam diri kita tanpa hubungan, tanggung jawab, atau peruntukan apapun terhadap Tuhan. Di lain pihak, kehidupan manusiawi berkeutamaan seperti itu disebutnya “serupa dengan Tuhan”. Dengan begitu Aristoteles adalah seorang humanis yang tidak beragama karena Tuhan tidak berhubungan dengan manusia serta dunia dan sebaliknya manusia serta dunia terlepas dari Tuhan.

4. Thomas Aquinas, Aristoteles Kristiani
Menurutnya, manusia adalah gabungan dari dua substansi yang tidak lengkap, yaitu materi pertama dan jiwa. Kesatuan dalam susunan manusia menjadi lebih kuat daripada Aristoteles sebab manusia adalah suatu substansi yang lengkap. Dalam rangka pemikiran Thomas ini dapat dikatakan: manusia adalah tubuhnya yang hidup, bersama dengan semua gejala dan aktivitasnya. Namun, jiwa dianggap Thomas semata-mata rohani, tunggal, prinsip hidup dari seluruh manusia, dan tidak dapat mati. Thomas menyebut jiwa manusia semacam titik temu dan horison dari yang jasmani dan yang tidak jasmani. Jadi jiwa timbul dari penciptaan yang berevolusi. Biarpun kita semua, bahkan seorang bayi pun, pada prinsipnya sudah manusia, namun dalam instansi kedua kita harus menjadi manusia lagi melalui pengenalan dan perbuatan-perbuatan kita. Di sini Thomas pun minta dari manusia pertama-tama agar ia hidup secara rasional.
Kemungkinan ultimnya: Menurut Thomas tujuan kehidupan itu adalah sesuatu hal yang bisa menggerakkan, memikat, menarik, dan mendorong. Jadi dalam apa saja yang dikehendaki manusia, tujuan adalah nomor satu, namun tujuan adalah hal terakhir yang dicapai. Dan menurutnya yang menjadi motor serta dinamo untuk mencapai tujuan hidup adalah “kebahagiaan”, yang mula-mula dimengerti sangat umum dan luas, yaitu pemenuhan dari apa saja yang diinginkan manusia. Keinginan dan pengejaran akan kebahagiaan bagi Thomas merupakan impuls awal dan impuls dasar dari manusia, sudah mulai sejak bayi dan tidak berakhir pada orang yang paling tua pun. Meskipun manusia tidak bisa memilih bebas dalam mengejar kebahagian secara umum, namun ia dapat memilih secara bebas apa yang akan dicari dan diusahakannya sebagai kebahagiaan. Manusia dalam stadium estetis terutama mencari hal-hal yang menyenangkan, yang berguna, dan yang menarik secara indrawi, manusia telah menemukan yang sungguh-sungguh manusia sebagai nilai: bertindak secara rasional, mengatur hawa nafsu melalui rasio, serta kewajiban dan dengan demikian tumbuh menjadi suatu kepribadian manusia yang utuh. Manusia dari stadium religius mencari lebih jauh lagi dan mengatasi nilai-nilai ini hingga dalam tahap religius-dalam Allah-mengakui serta menghayati nilai yang tertinggi. Thomas pun berpendapat bahwa seorang manusia yang mencari kebahagiaannya tidak pernah tenang dan puas dengan yang relatif saja, dengan tahap manusiawi, berhingga, dan duniawi belaka. Dalam mencari dan mengejar kebahagiaan, kita tidak berhenti pada tahap berhingga serta relatif, tetapi akhirnya kita mengarah kepada nilai yang tertinggi, kepada hal yang paling baik, kepada yang abadi dan ilahi. Menurut pandangan Thomas, proses pencarian kebahagiaan kita berjalan terus secara tak terelakkan: dari barang serta nilai-nilai lahiriah menuju nilai-nilai lebih tinggi yang menyangkut hidup batiniah manusia dan akhirnya mencapai ketenangan dan kepenuhan dalam “penyerahan diri kita kepada Tuhan”. Ini bagi Thomas, sekaligus merupakan kemungkinan ultim serta makna terdalam kehidupan kita, yang baru direalisasikan definitif sesudah kematian dalam suatu kehidupan abadi yang terikat pada Tuhan secara tak terlepaskan.

5. Kebijakan Hidup Dalam Mazhab Stoa
Manusia: Seorang Stoa hanya berpedoman pada yang rasional. Yang spesifik manusiawi adalah roh-logos atau nus-jadi pemikiran. Roh manusiawi berpartisipasi pada rasio ilahi, pada logos dan ia sendiri hanya sekedar serpihannya. Mereka lebih memikirkan kehidupan praktis. Ajaran tentang pengenalan (logika) dan ajaran tentang Ada (fisika), mereka butuhkan sebagai dasar untuk sikap hidup mereka (etika). Mazhab Stoa beranggapan bahwa alam semesta terdiri dari unsur pasif (materi) dan faktor aktif yang menciptakan, yaitu Logos atau Tuhan. Kedua hal ini tergabung sebagai semacam kesatuan materi dan bentuk. Namun demikian, tampaknya para filsuf Stoa masih ingin menempatkan Tuhan di atas alam atau, dengan suatu istilah teknis, mereka masih mengakui sedikit transendensi-Nya. Menurut mereka Allah merancang serta membentuk alam semesta dan terutama dalam fungsi inilah mereka menyebut Tuhan “Logos alam semesta”. Menurut para filsuf Stoa, manusia adalah hasil suatu penggabungan dari materi dan roh. Roh manusia, logos seolah-olah merupakan sebagian kecil dari Logos ilahi dan karena itu manusia begitu dekat dengan Allah, seorang “putra Allah”. Jadi, manusia adalah manusia yang khas karena rohnya, karena logos. Menurut tubuhnya, ia sama saja dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, serta binatang, tetapi karena rohnya, ia berbeda dengan semua makhluk lain di alam semesta. Dalam memandang manusia, filsuf-filsuf Stoa adalah “humanis”, tetapi humanis religius. Sebab rasio manusiawi adalah sebagian kecil dari rasio Ilahi dan karena itu dapat ditandaskan dengan konsekuen: Hidup menurut rasio berarti hidup menurut kehendak dan maksud Tuhan. Menurut filsuf-filsuf Stoa, makna keberadaan manusia terdapat dalam “kehidupan rasional” dan dengan menjalankan kehidupan rasional inilah ia akan menjadi seorang “bijak” kemungkinan tertinggi manusia. Orang bijak secara teguh dipimpin oleh rasio, tidak menerima ide-ide yang salah, tidak membiarkan dirinya terharu oleh rasa kasihan atau kesedihan. Dia berani, adil, dan baik. Kebijaksanaan dianggapnya keutamaan yang mencukupi untuk kebahagiaannya. Kemujuran maupun kemiskinan takkan pernah menggoncangkan dia karena dengan teguh ia tetap tinggal orang yang sama. Yang bijak adalah satu-satunya orang yang bebas dan ia takluk pada Tuhan.
Kemungkinan ultimnya: menerima kematian dengan pasrah pada Tuhan, nakhoda dari kapal hidupnya. Kebanyakan filsuf Stoa menerima kemungkinan bahwa manusia akan hidup terus sebagai jiwa di alam baka tetapi mereka samar-samar saja tentang cara bagaimana dan lamanya. Etika Stoa tampaknya sangat individualistis, namun dalam lingkungan mereka timbul juga kesadaran akan persaudaraan manusia. Mereka mulai menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini bertautan dalam Tuhan: semacam solidaritas kosmis. Jadi, menurut filsuf-filsuf Stoa, kemungkinan ultim keberadaan kita dan makna kehidupan kita adalah hidup bersama dengan yang Ilahi dalam suasana persaudaraan dan solidaritas berdamai.

6. Marcus Aurelius, Filsuf-Kaisar
Manusia: Menurutnya manusia hanyalah sekedar daging, sekedar nafas hidup dan prinsip yang memimpinnya. Yang dimaksud prinsip yang memimpinnya itu tentunya akal budi. Ia mencanangkan penghinaan belaka terhadap tubuh dan dunia: “Anggap saja tubuh itu remeh, seolah-olah Anda sudah mati karena hakikatnya tidak lain daripada sekedar daging, tulang belulang, dan jaringan yang dibuat dari syaraf, urat darah halus, dan urat nadi. Ingat juga apa sebetulnya nafas hidup (psykhe) itu. Hanya sekedar angin dan bahkan tidak selalu yang sama, tetapi terus-menerus dihirup kembali dan dikeluarkan lagi”. Marcus menyatakan semua yang bersifat duniawi sebagai sia-sia dan tak berguna. Ia lebih menekankan kehinaan daripada keaguangan manusia.
Kemungkinan ultimnya: “seperti halnya dengan kelahiran, kematian pun adalah suatu misteri alam. Kematian itu tidak lain daripada tercerai berai unsur-unsur yang pernah digabungkan”. Namun, Marcus Aurelius tetap ragu-ragu tentang nasib kita sesudah mati dan mempersoalkan hal ini sebetulnya dianggapnya suatu diskusi dengan Allah yang tidak pada tempatnya. Marcus memberi hormat besar kepada jiwa yang karena keyakinannya sendiri bersedia untuk melepaskan diri dari tubuh tanpa menghiraukan apapun. Akhirnya Marcus mengibaratkan hidup kita sebagai sebuah drama dalam tiga babak: lahir-hidup-mati. Kita hanya bertanggung jawab atas babak kedua, kehidupan yang terentang antara lahir dan mati.

7. Epikuros, Seniman Hidup
Manusia: Prinsip dasarnya adalah: “Hiduplah sesuai dengan Alam”. Dalam ajarannya tentang Ada, Epikuros adalah seorang materialis yang tulen. Menurutnya, manusia juga merupakan produk suatu kombinasi atom semacam itu. Jadi dia semata-mata jasmani. Jiwa manusia pula mengambil bagian dalam kejasmanian yang menandai segala sesuatu di bumi ini. Atom-atom jiwa sangat halus dan licin. Epikuros tidak bisa membayangkan jiwa tanpa tubuh dan apabila seluruh struktur tubuh runtuh, maka jiwapun tidak lagi dapat mempunyai perasaan-perasaan dan akan melebur. Epikuros juga menganggap rasio sebagai faktor terpenting dalam proses pengenalan. Pada Epikuros, tampaknya rasio hanya merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan asosiasi antara pengalaman-pengalaman empiris dan mengatur masa lampau serta masa sekarang.
Kemungkinan ultimnya: Hidup sesuai dengan kodrat manusia. Kesenangan adalah prinsip serta tujuan dari hidup bahagia. Jadi kesenangan adalah motor serta norma dari seluruh tingkah laku manusiawi kita, makna kehidupan kita. Pedoman hidup yang ia tarik dari sini adalah: Jauhilah segala kesakitan badan dan jiwa. Kesenangan yang dimaksudkannya adalah kebaikan tertinggi yang terdiri dari tiadanya penderitaan fisik serta keresahan jiwa. Ia tidak memungkiri kesenangan “rohani”, bahkan kesenangan rohani itu dianggapnya paling tinggi karena ia “mencakup waktu lalu dan waktu mendatang, sedangkan kesenangan indrawi terbatas pada waktu sekarang saja”. Jadi rasio atau akal budi merupakan alat yang paling penting untuk mengukur wajar tidaknya serta besar kecilnya kesenangan sambil menggunakan ingatan akan pengalaman kesenangan di masa lampau. Kesenangan tertinggi adalah kesenangan jiwa atau ketenangan jiwa: jiwa dalam keadaan sejahtera. Memperoleh ketenangan jiwa ini adalah kemungkinan ultim manusia selama hidupnya dan makna seluruh keberadaannya. Dengan demikian, kematian adalah kemungkinan terakhir kita dan orang bijak menyongsongnya dengan tenang.

8. Boëthius, Filsuf Pencari Penghiburan
Manusia: Manusia adalah makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang bebas. Karena itu, dalam hubungan dengan pengertian ilahi – kejadian-kejadian itu akan mutlak perlu; tetapi kejadian-kejadian itu sendiri-dipandang menurut sifatnya-akan tetap bebas. Jadi, segalanya yang dilihat oleh Tuhan sebagai akan terjadi di waktu mendatang pasti akan berlangsung, tetapi beberapa di antara kejadian-kejadian itu bersumber pada kebebasan dan dengan berlangsungnya sekali-kali tidak kehilangan sifat bebasnya. Keeksistensi kemahatahuan Tuhan dan kebebasan manusia: “Di atas segala-galanya, Tuhan tinggal penonton yang sudah tahu sebelum sesuatu terjadi dan untuk selamanya pandangan-Nya yang abadi akan bertepatan dengan nilai yang akan datang dari perbuatan-perbuatan kita sambil memberikan pahala kepada yang baik dan pencobaan kepada yang jahat. Jadi tidak sia-sialah harapan atau doa yang diarahkan kepada Tuhan, yang pasti akan ada efeknya, asal saja dikemukakan dengan sungguh-sungguh”.
Kemungkinan ultimnya: Menjadi bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang sudah dimulai di bumi ini dengan hidup secara rasional, manusiawi, berkeutamaan, dan saleh karena suatu kehidupan semacam ini di bumi, dalam arti tertentu, sudah mengambil bagian pada yang baik, yaitu pada Allah. Suatu visi yang luhur dan amat idealistis tentang kehidupan manusiawi dan kemungkinan ultimnya.

9. Spinoza, Intelek Yang Tenggelam Dalam Tuhan
Manusia: Bagi Spinoza hanya ada satu kemungkinan substansi saja yang disebutnya Yang Tak Berhingga, Allah, atau Alam. Ia pun masih membedakan atribut-atribut dan modi. Suatu atribut adalah apa yang oleh intelek dikenal dari substansi itu sebagai ciri hakikinya. Modi adalah cara-cara berada dari atribut-atribut dan secara tidak langsung dari substansi. Modi merupakan bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran. Spinoza menganggap pengalaman sebagai awal pengenalan manusia. Menurut Spinoza, Yang Tak Berhingga itu, tidak boleh tidak, harus merupakan yang satu serta segala-galanya atau dengan kata lain substansi. Yang disebut berhingga itu hanya bisa berada dan hanya bisa dipikirkan berkat Yang Tak Berhingga itu. Kepada Yang Tak Berhingga itu, Spinoza memberi nama “Allah” dan juga “Alam”. Menurut Spinoza manusia adalah suatu cara berada atau modus dari atribut-atribut keluasan dan pemikiran, secara tidak langsung suatu modus dari Yang Tak Berhingga atau dari Tuhan. Jiwa manusia oleh Spinoza disebut “idea” dari tubuh dan tubuh disebutnya “keluasan” dari jiwa, sedangkan kesadaran diri disifatkannya sebagai “mempunyai idea tentang idea tubuh”.
Kemungkinan ultimnya adalah “kebebasan roh atau kebahagiaan”. Kebebasan roh itu bersifat suatu tugas dari pada milik tetap karena sambil berjuang, manusia harus mencoba meraihnya. Baginya segala sesuatu yang tidak rasional sifatnya. Adalah tugas rasio untuk menguasai tahap irasional, indrawi atau hawa nafsu. Bila kita melihat segala sesuatu dengan mata rasio, proses pembebasan kita mulai berjalan, tetapi kita baru mencapai kebebasan roh yang sejati, kebahagiaan atau kemungkinan, serta makna tertinggi kehidupan kita bila kita berusaha menangkap segala sesuatu yang ada dengan rasio kita dari segi substansi yang satu atau Yang Tak Berhingga atau Tuhan. Menurut pandangan Spinoza, manusia diperuntukkan bagi kebebasan serta kabahagiaan yang sejati: kemungkinan ultimnya serta makna keberadaannya.

10. Jean-Jacques Rousseau, Nabi Yang Mewartakan “Alam Kodrat Yang Baik”
Manusia: Kemajuan ilmu pengetahuan dan kesenian hanya menghasilkan ketidaksungguhan, kemunafikan, kecongkakan, dan kesombongan untuk umat manusia. Semua itu telah memburukkan kodrat manusia yang pada mulanya baik dan merayu manusia untuk melakukan segala macam kebejatan. Bila manusia ingin selamat, hanya ada satu jalan: “Back to nature”, kembalilah kepada keadaan pada awal mula. Ia percaya akan kebaikan alam kodrat yang asali. Segala kesengsaraan, inotentisitas, korupsi dan kelicikan sebetulnya berasal dari kehidupan bersama dalam masyarakat, dari ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Kepercayaannya akan Tuhan sangat ditandai oleh faktor perasaan. Ia mengaku: Manusia adalah bebas dalam perbuatan-perbuatannya dan karena itu dijiwai oleh suatu substansi yang tak jasmani. Ia percaya juga akan kemungkinan kebakaan jiwa, namun tidak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi. Menurutnya yang dibutuhkan hanyalah suatu agama “natural” karena wahyu tidak bisa dikenal secara umum. Tuhan hanya menuntut “ibadat dari hati”. Agama itu adalah agama Kristen, tetapi bukan agama Kristen sekarang ini, tetapi Injil. Sebagai isi pokok agama ini olehnya disebut: pengakuan bahwa semua manusia adalah “anak Allah dan saudara satu sama lain”.
Kemungkinan ultimnya: Makna kehidupan kita ialah menjadi manusia: “Wahai manusia, hiduplah secara manusiawi, itulah kewajibanmu yang pertama. Jadilah manusia dalam segala situasi dan pada setiap usia, dalam segala sesuatu yang tidak asing bagi mausia. Ada kebijakan apa bagimu di luar kemanusiaan?” Dalam menjadi manusia, kita sekaligus akan menemukan kebahagiaan di bumi ini. Pada taraf lebih rendah, kebahagiaan itu terdiri dari “tiadanya penderitaan, menikmati kesehatan, mempunyai kebebasan, dan memiliki apa saja yang dibutuhkan”. Pada taraf lebih tinggi, kebahagiaan itu ditemukan dalam kedamaian hati: “Wahai manusia, hendaklah membatasi kehidupanmu pada batinmu dan kamu tidak lagi akan kurang bahagia”. Kemungkinan ultim manusia adalah suatu kehidupan abadi yang personal.

11. Kant, Impian Tentang Perdamaian Abadi
Manusia: Kant berpendapat bahwa manusia berasal dari dunia hewan. Pada awal mula, ia hidup pada taraf yang masih rendah serta primitif, nyaris hewani. Pada waktu itu sama sekali belum terdapat suatu masyarakat yang teratur, dengan semacam kode hukum. Di situ kekuasaan lebih penting dari hukum dan kekuasaan itu dipegang oleh orang yang paling kuat. Maka tidak dapat dielakkan, di antara manusia segera timbul suatu keadaan perang dari semua lawan semua. Desa berkelahi dengan desa, klen dengan klen, suku dengan suku karena mereka belum mengakui orang lain seperti sesama manusia, demikian sempitnya kesadaran mereka saat itu. Akan tetapi, dengan semakin banyak tukar menukar barang, mereka bagaimanapun melihat orang lain sebagai sesama manusia dan fajar rasio mulai memperluas kehidupan psikososial. Berdasarkan alasan-alasan rasio – di samping mempertimbangkan untung rugi-, manusia sampai mengadakan semacam perjanjian sosial dan politik. Dengan demikian lahirlah hukum yang memungkinkan untuk memperdamaikan kesewenang-wenangan orang lain. Terbentuklah suatu negara yang sanggup mengakhiri perang pada tahap desa, kota, dan wilayah. Kant mengharapkan dan meramalkan pula bahwa perang pun akan berakhir, asal kekuasaan absolut para raja untuk memutuskan perang atau damai diserahkan kepada suatu perwakilan rakyat. Kant yakin bahwa rasio akhirnya akan menang. Keyakinannya: Haruslah ada kedamaian! Karena dengan demikian, umat manusia menuju ke kesatuan dan akan terbentuk suatu “kewarganegaraan dunia” antara semua manusia.
Kemungkinan ultimnya: bertumbuh ke arah humanisasi, persatuan, hidup persaudaraan, dan perdamaian abadi. Hal ini ditemukan dengan bantuan rasio praktis, dengan perenungan atas tatanan etis dan kewajiban. Kemungkinan ultim lain adalah penyempurnaan moral kita atau kekudusan yang tidak mungkin direalisasikan di dunia ini – antara lahir dan mati, melainkan dalam suatu hidup abadi. Hidup abadi ini oleh Kant dianggap personal dan bukan kolektif atau non-personal. Dan terutama ia mengerti hidup abadi itu secara dinamis.

12. Fichte, Aku Yang Menciptakan
Manusia: Fichte lebih suka menganut suatu idealisme radikal. Menurutnya: ”Aku” yang absolut atau Kesadaran mengiakan dirinya sendiri dan dengan kesadarannya menciptakan Non – Aku yang pada mulanya tak sadar itu harus kembali ke kesadaran dalam Absolut Aku. Dalam proses kembalinya ini, Aku Absolut mempergunakan aku-aku kecil kita untuk membawa seluruh kenyataan-yang berasal dari Aku-kepada kesadaran yang sepenuh-penuhnya, dalam perbuatan moral yang kreatif.
Kemungkinan ultimnya: Tujuan akhir manusia dirumuskannya sebagai berikut: ”Menaklukkan kepada diri sendiri segala yang bersifat irasional dan menguasainya dengan bebas, serta menurut keteraturannya sendiri: itulah tujuan akhir manusia”. Namun, tujuan ini tidak mungkin dicapai dalam dunia empiris karena jalan ke arah itu takkan berujung. Kita hanya bisa semakin mendekati sampai tak berhingga. Selanjutnya kemungkinan ultim serta peruntukan manusia: pertumbuhan cinta kasih manusiawi kita hingga akhirnya tenggelam penuh kasih di dalam Tuhan. Ia sudah berkeyakinan bahwa hidup sungguh-sungguh ialah mencintai. Cinta kasih kepada manusia harus memanjat ke cinta kasih kepada Tuhan, bukan di alam baka kelak, melainkan di dunia ini karena Tuhan ditemukan di mana-mana, khususnya di dalam batin kita.

13. Hegel, Refleksi Absolute
Manusia: Menurut Hegel dalam diri manusia, Roh menjadi sadar dan Roh itu memungkinkan manusia untuk menciptakan wilayah Roh. Hegel, manusia merupakan mahkota dalam perkembangan dialektis. Bila Hegel berbicara tentang manusia, berarti masyarakat sebagai bangsa dan negara. Bagi Hegel, makna manusia perorangan itu tidak lebih daripada sekedar mata rantai dalam sistem yang besar. Tentu saja, Hegel mengakui adanya serta nilai tokoh-tokoh besar, tetapi mereka hanya menjadi besar karena kekuatan Roh, berkat momentum historis dan suasana roh bangsa. Hegel terutama melihat manusia secara kolektif, sebagai rakyat, bangsa, serta negara dan sepanjang sejarah Roh umum mempergunakan bentuk-bentuk kolektif itu untuk mencapai tujuannya. Perkembangan sejarah menentukan juga makna dan kemungkinan ultim keberadaan manusia. Tidak mengherankan bahwa filsafat sejarah menjadi begitu penting bagi Hegel karena sejarah dunia serentak juga merupakan pengadilan dunia.
Kemungkinan ultimnya: sejarah dunia tidak terletak dalam kekuasaan individu, tidak pula dalam kekuasaan suatu bangsa, kelas atau ras tertentu, melainkan dalam kekuasaan Roh umum walaupun kekuasaannya dijalankan dengan bantuan individu-individu, bangsa-bangsa, dan ras-ras.

14. Materialisme
Manusia: Semboyan Materialisme ialah: Nikmatilah kehidupan ini sebab bila kita mati, sudah habislah lelucon. Menurut materialisme, alam semesta terdiri dari suatu aglomerasi atom-atom yang dikuasai oleh hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan tertinggi atom-atom itu ialah dapat membentuk manusia. Bilamana dikatakan bahwa manusia mempunyai roh, jiwa atau kesadaran-dan seorang materialis pun tak segan mengatakan demikian, maka hal itu tidak berarti bahwa mereka juga menerima suatu unsur non-materiil dalam dunia atau dalam diri manusia. Apa yang mereka sebut kesadaran, jiwa, atau roh, pada akhirnya tidak lain daripada sejumlah fungsi serta kegiatan otak. Dunia dan manusia tetap materiil belaka, juga kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia tidak melebihi kemungkinan kombinasi-kombinasi atom dan karena itu pernah melampaui potensi-potensi jasmani.
Kemungkinan ultimnya, kematian: hancurnya struktur atom-atom manusia, peleburan, serta penyebaran kombinasi atom-atom. Bagi materialisme, tidak ada dasar apapun untuk menerima kelanjutan hidup personal sesudah mati.

15. Marx Dan Marxisme
Manusia: Materi telah berkembang secara dialektis, menurut tahap-tahap thesis, antithesis, dan synthesis. Kuantitas materiil yang semakin kompleks bisa berubah menjadi sutu kualitas baru. Materi dalam alam semesta telah berhasil menyusun kehidupan bahkan menghasilkan manusia sebagai perwujudan tertinggi dari materi. Bagi Hegel, Ide memegang bimbingan dalam proses dialektis dan membangun materi sebagai “rumah” untuk Roh. Marx mengambil alih “dialektika” dari Hegel, tetapi menolak inspirasi, dinamika, serta bimbingan Ide dalam proses ini. Ia memutarbalikkan dialektika Hegel: Bukan Ide yang membangun rumahnya serta dengan bantuan materi, melainkan materi yang akhirnya menciptakan ide dan roh
Kemungkinan ultimnya: Menurut Marx, manusia perorangan mempunyai sedikit sekali kemungkinan dan kemungkinan ultimnya berakhir dengan kematiannya: robohnya seluruh strukturnya. Kemungkinan ultim umat manusia adalah humanisasi dirinya serta dunia dan sosialisasi seluruh kehidupan manusia. Baru dalam keadaan itulah akan tampak kebebasan sejati untuk semua manusia.

16. Schopenhauer, Filsuf Yang Pesimis
Manusia: Di dunia manusia terdapat egoisme, kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, dendam, ketidakpercayaan, dan pembunuhan. Apa yang kita sebut “kebahagiaan” sebetulnya hanyalah tiadanya kesengsaraan; yang kita sebut “kesehatan” tidaklah lain daripada tiadanya penyakit. Maka ia berpendapat bahwa dunia kita adalah “yang terburuk di antara dunia-dunia yang mungkin”. Jadi, dasar dari dunia, manusia, dan kehidupan haruslah tidak arif, tanpa rasionalistas, paling buruk dalam arti sepenuh-penuhnya, sejelek mungkin. Dasar dunia dimengerti sebagai dorongan yang buta serta irasional, sebagai gairah serta naluri, sebagai sebuah “daya” dahsyat dari Ada. Ia menemukan gairah serta keinginan manusia atau-dengan kata lain – kehendak sebagai daya pendorong terdalam serta terkuat, sebagai motor yang menggerakkan kehidupannya. Dengan demikian manusia membentuk tubuhnya dan hampir seluruh hidupnya. Dunia serta manusia menurut dasarnya yang terdalam merupakan Kehendak. Akan tetapi masih ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dari itu: Vorstellung (bayang-bayang). Dalam diri manusia, dasar dunia mencapai kesadaran serta kesadaran-diri. Namun, manusia, mahkota serta produk tertinggi dari kegiatan dasar itu, sekaligus menjadi makhluk yang paling malang di seluruh dunia.
Kemungkinan ultimnya: kematian, setelah hidup di dunia ini dengan terlantar, membosankan dan tidak bahagia. Ia menganggap paling tepat “memandang pekerjaan, penderitaan, kesukaran serta kesengsaraan-dimahkotai dengan kematian-sebagai tujuan kehidupan kita”. Akan tetapi, masih tinggal sesuatu yang paradoksal dalam kehidupan manusia: Hasrat untuk berada tidak dapat dijinakkan, namun keberadaan manusia itu sangat membosankan sehingga ia selalu ingin melepaskan diri dari keberadaannya itu.

17. Nietzsche, Filsuf Pemakai Martil
Manusia: setiap makhluk di dunia ini telah menghasilkan suatu Uebersein (sesuatu yang melebihi makhluk itu) dan lahirnya kera menghasilkan seekor Ueberaffe (yang melebihi kera), yaitu manusia, teapi manusia dewasa ini menganggap keberadaannya definitif; mereka memandang rendah kera, tetapi dalam hal ini mereka lebih bersifat kera daripada kera apapun karena mereka tidak menggunakan energinya untuk menciptakan seorang Uebermensch. Usaha menyamaratakan semua manusia – melalui agama Kristen dan sosialisme – olehnya dinilai sebagai gejala degenerasi dan kejenuhan. Dengan demikian tampillah manusia “terakhir”, seorang penikmat yang menghindari kehidupan keras serta berbahaya, yang tidak lagi mau bekerja keras, bahkan tidak mau menjadi miskin dan tidak mau menjadi kaya karena kedua-duanya terlalu merepotkan. Manusia itu bukan tujuan serta makna evolusi. Ia harus diatasi oleh Uebermensch yang akan datang. Dia itulah merupakan makna dunia.
Kemungkinan ultimnya: Kemungkinan ultim manusia adalah pengulangan terus menerus, kembalinya segala sesuatu, baik pada tahap makro maupun pada tahap mikro.

18. Max Striner, Egois Yang Radikal
Manusia: Menurut Stirner, saya – artinya: individu – sama dengan kuasaku; saya berhak melakukan segala sesuatu yang saya bisa. Stirner juga adalah seorang filsuf yang tidak mempedulikan hal ihwal ilahi atau hal ihwal manusiawi yang umum: “Yang ilahi adalah urusan Tuhan dan yang manusiawi adalah urusan manusia. Perkaraku bukanlah yang benar, yang baik, yang lurus, yang bebas, dsb, melainkan hanyalah yang Aku punya. Maka, perkaraku tidak bersifat umum, melainkan unik, sebagaimana Aku unik adanya. Bagiku tidak ada yang melebihi Aku!” Jadi memang benarlah Stirner telah menarik konsekuensi dari egoisme.
Kemungkinan ultimnya: Manusia harus mencari kenikmatan kehidupan ini, karena itulah makna keberadaan kita. Kita tidak harus berusaha untuk sampai kepada diri kita sendiri. Sebaliknya, kita harus bertolak dari diri kita seperti adanya. Aku perbuat dengan diriku “Apa yang diperbuat dengan milik apa saja: ‘Aku menikmati diriku sesuka hati. Aku tidak lagi prihatin tentang kehidupan, tetapi Aku’ memboroskannya’”. Menikmati diri saya sendiri, tenggelam sama sekali dalam kuasa serta milik saya, tuan atas semua orang serta segala-galanya, dan tidak mengabdi kepada manusia maupun Allah, itulah makna kehidupan saya menurut Stirner. Saya telah menciptakan diri saya sendiri dari Ketiadaan dan hanya mementingkan diri saya sendiri: Individu yang unik dan Yang Satu-satunya.

19. Keirkegaard, Sokrates Kristiani
Manusia: Keirkegaard berusaha untuk menggambarkan keberadaan manusia dalam stadium estetis, etis, dan religius. Tiap manusia mulai dengan stadium estetis ketika masih bayi. Ia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, ia mengikuti prinsip kesenangannya, dan lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Si estetikus belum sungguh-sungguh memiliki dirinya sendiri, belum menjadi persona. Dalam stadium ini, manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Pada stadium etis kita semakin mengingat diri, dari penonton kita menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Juga kehidupan seksual dan kehidupan cinta memperoleh kemantapan lebih besar: orang memberanikan diri menjalin hubungan dengan satu orang untuk seumur hidup. Dalam stadium etis manusia mulai menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis. Kalau begitu, ia menjadi seorang pemberontak. Akan tetapi, dalam situasi tragis ini masih tinggal kemungkinan yang lain. Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan serta bantuan adi-manusiawi. Ia akan menemukan Tuhan yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang terkoyak-koyak. Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk pengaruh Tuhan dalam kehidupan kita, maka kita mengatasi stadium etis dan sampai pada stadium religius. Manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata petir rahmat Tuhan dan dengan iman kepercayaan yang besar ia mempertaruhkan seluruh kehidupannya demi Allah.
Kemungkinan ultimnya: Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang mungkin untuk manusia dan cara hidup Kristenlah yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia. Berarti seorang Kristen harus berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoksal, sebagaimana Kristus merupakan paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian.

20. Jaspers, Filsuf Yang Percaya
Manusia: Karl Jaspers merasa terpukau oleh pertanyaan-pertanyaan; Aku ini siapa, apakah yang dapat saya ketahui, dan apakah yang harus saya lakukan? Terlebih dahulu ia berusaha menemukan manusia (artinya; dirinya sendiri) dalam dunia melalui suatu “orientasi dalam dunia”. Pada tahap orientasi dalam dunia, kemungkinan-kemungkinan keberadaan saya belum menjadi jelas bagi saya. Saya tidak menemukan kemungkinan-kemungkinan ini seorang diri, melainkan hanya dalam komunikasi dengan orang lain, dalam suatu perjumpaan sejati.
Kemungkinan ultimnya: Bagi Jaspers, kepercayaan filosofis itu meliputi kebenaran-kebenaran berikut: (1) Allah memang ada. Dari butir keberadaannya, manusia mengalami atau Allah atau Ketiadaan. (2) Kalau Allah ada, maka saya bisa berbicara juga mengenai tuntutan-tuntutan etis yang absolut, yang kahirnya dirancang dan di dasari oleh Allah. (3) Dunia mempunyai status yang bersifat sementara di antara Allah dan eksistensi manusiawi. Dalam kepercayaan ini manusia menemukan kemungkinan yang agung serta ultim, makna kehidupannya. Jadi dengan demikian kemungkinan ultim eksistensi manusia adalah Tuhan atau Ketiadaan. Karena itu, makna kehidupan manusia adalah perjalanannya menuju Tuhan, melalui komunikasi dengan manusia lain. Jalan ini sulit dan manusia senantiasa gagal dalam maksud serta usahanya, namun ia boleh berharap pada Tuhan yang menarik kepada-Nya orang yang percaya.

21. Sartre, Ateis Yang Konsekuen
Manusia: Menurut Sartre manusia hidup pada tahap “ketiadaan”, pour-soi, kesadaran, dalam subyektivitas murni. Itulah keberadaan manusiawi yang hanya mungkin atas dasar suatu kebebasan total yang mencipta karena kebebasan adalah kemungkinan untuk “penidakan”. Jika manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat (esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Ia mengakui bahwa orang yang menerima adanya Tuhan, mempunyai pandangan lain dan dalam hal ini bahkan konsekuen. Sebab, jika ada Allah yang mahatahu serta mahakuasa, maka segalanya yang bukan Allah adalah ciptaan-Nya. Sartre menyangkal adanya Tuhan atas dasar ajarannya tentang kesadaran. Sebab – katanya – seandainya Tuhan ada, Ia akan merupakan identitas penuh dari Ada dan kesadaran. Hal itu tidak mungkin, mustahil begitu saja. Allah tidak ada. Secara sadar Sartre memilih ateisme sebagai sikap hidupnya. Seorang manusia dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya. Namun, itu tidak bisa dilakukan secara perorangan saja, tetapi harus berlangsung bersama dengan orang lain. Jadi, Sartre sebagai ateis ingin menciptakan suatu way of life yang baru, semacam moral manusiawi yang baru.
Kemungkinan ultimnya: mengembangkan situasi-situasi yang ada. Barangkali kita mengerti pemikirannya begini: kemungkinan ultim umat manusia adalah mewujudkan esensinya. Akan tetapi, esensi itu baru dapat diketahui serta dilukiskan setelah manusia terakhir mati. Setelah semua manusia mati, seluruh sejarah umat manusia dapat disingkatkan dengan mengatakan: begitulah manusia! Bagi manusia perorangan, kemungkinan ultim adalah kematian, tetapi kemungkinan ultim umat manusia tidak kita ketahui. Bagi Sartre, cinta tanpa pamrih – tanpa membuat dirinya sendiri atau orang lain menjadi “obyek” – tidak mungkin. Sepanjang sejarah, manusia – sebagai individu maupun sebagai grup – mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dan itulah – menurut Sartre – makna keberadaan manusia. Karena kemungkinan ultim tidak kita kenal dan tetapi tidak akan kita kenal, karena itu pula makna keberadaan kita tidak pernah dapat ditunjukkan dengan tepat.

22. Albert Camus, Filsuf Pemberontak
Manusia: Dalam diri manusia sebenarnya terdapat semacam insting, kodrat, atau keinginan akan keadilan serta kebaikan. Namun karena manusia mengalami penderitaan, ketidakadilan, kebohongan, dsb, membuat manusia menjadi makhluk yang melawan. Jadi bagi Albert, manusia adalah mahkluk pemberontak.
Kemungkinan ultimnya: Seluruh kehidupan Camus adalah perjuangan penuh gairah untuk merebut makna keberadaan kita. Barangkali sebaiknya kita tidak mengatakan “makna”, melainkan “kemungkinan serta cara berada” karena Camus yakin betul: kehidupan kita tidak bermakna. Seluruh keberadaan kita adalah absurd, sebagaimana bagi dia kentara sekali dari penderitaan orang yang tak berdosa, khususnya anak-anak. Karena penderitaan yang absurd itu, dia menolak untuk mengakui adanya Tuhan. Kehidupan itu absurd, namun tidak ada jalan lain daripada menerima absurditas itu.

23. Gabriel Marcel, Filsuf Harapan
Manusia: Gabriel Marcel tidak langsung melibatkan agama dalam analisis eksistensialnya seperti Kierkegaard dan ia tidak pula menjauhkan agama dari refleksi filosofisnya seperti Jaspers. “Aku ini apa” selalu tinggal tema utama baginya. Secara spontan saya sudah tahu banyak tentang diriku, tetapi hal itu harus dipikirkan serta diolah lagi secara refleksif. Seperti halnya Jaspers, ia pun mengusahakan semacam orientasi dalam dunia - dalam bentuk suatu refleksi ilmiah – untuk mengerti manusia, artinya dirinya sendiri. Manusia sebagai subyek sesungguhnya tidak terjamah oleh refleksi ilimiah. Dan saya ini terutama subyek.
Kemungkinan ultimnya: Sambil menghayati bersama orang lain inkarnasi serta historitas saya sebagai bermakna dalam kepercayaan serta cinta kasih, saya berziarah dalam dunia ini menuju Tuhan dengan satu sikap cinta kasih penuh misteri. Itulah kemungkinan ultim keberadaan saya dan maknanya yang paling utuh serta memadai.

24. Teihard de Chardin, Filsuf Pencuri Konvergensi
Manusia: Kepercayaan Teihard anatara lain: (1) Saya percaya bahwa dunia merupakan suatu evolusi; (2) bahwa evolusi adalah jalan menuju roh; (3) bahwa roh (atau kesadaran) mendapat kepenuhannya dalam persona; (4) bahwa persona yang tertinggi adalah Kristus yang universal. Teihard mengakui gaya dorongan ilahi sebagai permulaan segala sesuatu, termasuk juga evolusi. Tuhan menjadikan segala-galanya, tetapi pada mulanya penciptaan itu belum rampung, masih penuh kemungkinan untuk berkembang. Sebetulnya, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan telah menciptakan, melainkan Ia masih tetap sedang menciptakan. Di dalam materi, Tuhan telah meletakkan peluang untuk berkembang terus menurut proses-proses tertentu dan mahkota seluruh penciptaan evolutif ini adalah manusia.
Kemungkinan ultimnya: Kemungkinan serta makna sementara dari keberadaan umat manusia terletak dalam persatuan umat manusia penuh cinta kasih, dalam humanisme yang meliputi semua orang. Dengan berkonsentrasi sepenuhnya pada yang manusiawi, kita akan bertumbuh ke arah itu, asal kita membuka diri untuknya secara bebas. Namun demikian, humanisme ini tidak merupakan makna terdalam dan kemungkinan ultim bagi manusia. Karena menurutnya sesudah konsentrasi pada dirinya sendiri, umat manusia akan berevolusi ke ek¬-sentrasi ke dalam Tuhan sebagai titik pusat yang baru. Hal itu akan terjadi ketika Kristus datang kembali ke dunia. Dengan demikian kemungkinan ultim serta makna keberadaan kita sebagai suatu hubungan cinta dengan Tuhan yang bersifat personal, tidak dapat diputus, dan berlangsung abadi. Dengan itu, evolusi dan sejarah umat manusia berakhir karena kedua-duanya telah rampung dan mencapai tujuannya. Evolusi dan sejarah umat manusia dari semula menuju ke puncak ini dan akhirnya memperoleh kepenuhannya.

TANGGAPAN PRIBADI
Buku “Filsuf-fulsuf Besar Tentang Manusia” ini merupakan karangan tentang sejarah filsafat karena para filsuf memberikan tanggapannya tentang manusia walaupun yang disoroti hanya tentang manusia tetapi saya sendiri melihat bahwa buku ini sudah dipandang sebagai buku filsafat. Pengarang buku ini telah memberikan masukan kepada setiap pembaca mengenai bagaimana manusia itu sebenarnya dan bagaimana ultim dari manusia itu. Jarang ada pengarang yang membandingkan semua pandangan para filsuf menjadi sebuah buku. Memang ada tetapi tidak banyak perbandingannya.
Ada dua pertanyaan yang muncul ketika kita membaca buku ini yaitu: siapa manusia itu sebenarnya dan bagaimana dia bisa mengembangkan dirinya. Dalam buku ini menarik kita bisa pelajari dari tanggapan para filsuf dengan memberikan contoh-contoh kegiatan dan apa yang akan dilakukan manusia untuk mewujudkan keinginannya itu. Buku ini juga membahas tentang manusia secara utuh karena memang fokusnya adalah manusia itu sendiri. Para filsuf menilai makna terdalam dan kemungkinan terakhir dari manusia itu sendiri sehingga pengarang menyajikan sedemikian rupa. Dalam hal ini timbul pertanyaan kita tentang manusia itu juga yaitu kemungkinan-kemungkinan mana yang terpendam dalam hidupnya dan kemana segalanya itu akhirnya membawa kita. Buku ini juga tidak terpisah dari perhatian terhadap agama serta teologi. Ketika manusia itu dibahas, maka disangkutpautkan dengan agama serta teologi. Terutama dalam agama, manusia itu tentunya akan bertemu dengan Yang Ada karena memang manusia itu berasal dari ciptaan Yang Ada. Bagaimana manusia itu berinteraksi dengan Allah dan apakah manusia itu merupakan bagian dari ciptaan Allah atau manusia itu asalnya darimana.
Dalam arti lain juga buku ini berbicara tentang etika. Pengarang menyajikan bagaimana manusia itu hidup, apakah dia mampu hidup sendiri dan bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain.

Ada beberapa kelebihan dari buku ini, yaitu:
1. Buku ini menyajikan kepada kita tentang manusia itu sendiri dan bagaimana dia ketika dia mati.
2. Buku ini juga membantu kita untuk menemukan diri kita sebagai manusia dan bagaimana kita hidup di tengah-tengah orang lain.
3. Beberapa pemikiran dari para filsuf Barat disajikan dalam buku ini sehingga kita bisa mengenal pemikiran mereka.
4. Buku ini juga membantu manusia untuk bertindak dalam hidupnya.

Selain dari kelebihannya, ada juga kekurangan dari buku ini, yaitu:
1. Bagi orang yang belum memahami dan mempelajari filsafat, maka orang itu akan diombang-ambingkan dengan pemikiran para filsuf. Banyak dari pandangan para filsuf yang berbeda-beda sehingga pembaca pemula yang belum mengetahuinya akan merasa bingung.
2. Buku ini juga bisa membuat orang meragukan tentang imannya kepada Tuhan karena banyak pandangan para filsuf yang bertentangan dengan iman. Filsafat yang menggunakan rasio tentunya akan berputar-putar di sekitar rasionya itu tanpa menggunakan imannya sehingga buku ini bisa mengombang-ambingkan iman seseorang ketika membaca buku ini.

2 komentar: