Jumat, 23 April 2010

KONSEP HIKMAT DALAM KITAB YESUS BIN SIRAKH


Oleh: Marta Kristin Mediawati Sembiring


Pendahuluan
Makna dan wawasan kata “hikmat” mempunyai arti ganda apabila digunakan dalam beberapa tingkatan yang berbeda. Bisa saja hikmat berarti tidak lebih daripada “keahlian”, “teknologi” kemampuan untuk mengadaptasikan atau mengontrol sektor-sektor kebendaan, dunia fisik, untuk kepentingan umat manusia. Dengan demikian pemburu, petani, penenun, pengrajin barang-barang dari tembikar, masing-masing mempunyai kebijaksanaannya sendiri-sendiri, yang diteguhkan oleh rintangan dan kesalahan dan yang kemudian sedikit demi sedikit diturunkan kepada generasi berikutnya secara lisan. Namun pada tingkat yang lebih tinggi, kata “hikmat” tersebut digunakan dalam hubungan sosial yang berarti “supel dalam bergaul” atau diplomasi, “bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi orang”; dan dengan arti yang demikian ini digunakan dalam bagian-bagian yang lebih tua dari pada kitab Amsal. Namun dalam kitab Yesus Bin Sirakh, kata hikmat ini diartikan lebih tinggi lagi yaitu mengacu pada sesuatu yang berasal dari Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia. Dalam paper ini akan dibahas konsep hikmat itu menurut Yesus Bin Sirakh.

Pembahasan
1. Hikmat dalam Kitab Yesus Bin Sirakh Menurut Pandangan Beberapa Tokoh
Ada beberapa pandangan mengenai hikmat atau kebijaksanaan dalam Kitab Yesus Bin Sirakh, di antaranya:
a. E.P. Sanders
Dalam kitab Bin Sirakh Sanders melihat dua hal penting, yaitu:
a. Kitab Bin Sirakh ditujukan untuk individu/pribadi,
b. Dalam pikiran penulisnya selalu ada gagasan Israel, Taurat dan Perjanjian.
Bukti yang diajukan Sanders terkait dengan gagasan bahwa hubungan Allah dan Israel diikat oleh hubungan perjanjian ada dalam:
• 17:12, Ia telah mengadakan perjanjian yang abadi dengan mereka, dan telah memaklumkan mereka hukum-hukum-Nya,
• 17:17 Bagi tiap-tiap bangsa Ia mengangkat penguasa masing-masing, tetapi Israel adalah bagian Tuhan!
• 10:10 (yang menurut Sanders) menekankan bahwa perbedaan antara bangsa yang layak di hadapan Tuhan ataukah tidak dilihat dari apakah mereka ‘melanggar’ perintah Tuhan ataukah tidak dan apakah mereka setia ataukah tidak.
Lalu gagasan pemilihan menurut Sanders nyata dalam 24:8 yang berbicara mengenai pemberian hikmat bagi Israel yang akan menghasilkan ‘buah yang manis’ yang bila dimakan dan diminum akan menghasilkan ‘rasa haus dan lapar yang lebih lanjut.’ Jadi pemberian hikmat adalah cara yang Allah gunakan supaya Israel bisa dibawa masuk dalam perjanjian dan tetap tinggal dalamnya. Jadi, pemberian ‘hikmat’ pada Israel oleh Sanders dinyatakan sebagai bukti kuat doktrin pilihan dari kitab Bin Sirakh.
Tanggapan saya terhadap pandangan Sanders antara lain:
a. Sanders menyatakan bahwa gagasan keselamatan dalam kitab Bin Sirakh adalah untuk individu, namun saya lebih setuju dengan pendapat R.A.F. MacKENZIE SJ, bahwa ayat-ayat yang dipaparkan itu ada dalam konteks nasional (kebangsaan).
b. Dalam pasal 10:10 Sanders hanya melihat bahwa ayat ini bicara mengenai hubungan Allah dan Israel yang didasarkan atas perjanjian, dan saya setuju dengan Rev. Chandra Gunawan ayat ini juga menunjuk pada gagasan bahwa yang menentukan satu bangsa menjadi layak ataukah tidak adalah ketaatannya pada hukum atau perintah Tuhan. Bukankah gagasan yang demikian menunjukkan bahwa soteriologi Bin Sirakh akhirnya ditentukan perbuatan manusia (walaupun itu dilakukan dalam kaitannya dengan perjanjian).

b. R.A.F. MacKENZIE SJ
R.A.F. MacKENZIE SJ melihat kebijaksanaan itu datang dari Allah, merupakan ciptaan dan milik-Nya serta tinggal bersama-Nya. Kebijaksanaan merupakan hal yang sangat berharga; Allah memiliki kebijaksanaan-Nya sendiri yang tentu saja sama sekali jauh lebih hebat daripada kebijaksanaan manusia apapun dan tidak dapat dijangkau oleh manusia, kecuali kalau sungguh-sungguh Allah dalam kebaikan-Nya hendak menganugerahkan kebijaksanaan tersebut melalui wahyu kepada ciptaan-Nya, seperti apa yang telah dikerjakan-Nya kepada umat manusia dalam Amsal 8. Namun Bin Sirakh melangkah lebih jauh dan mengidentifikasikan “Wahyu” tersebut dengan Perjanjian yang dibuat di Sinai. Dengan demikian karunia kebijaksanaan ilahi yang besar telah menjadi milik bangsa Israel: KEBIJAKSANAAN ALLAH = HUKUM MUSA. Namun bagi Bin Sirakh, hukum ini sama sekali lain dengan pengertian yang dipakai kaum Farisi dan ahli-ahli kitab (lih. 24:23). Dengan demikian jelaslah bahwa ini merupakan kebijaksanaan Allah, suatu sifat dari Allah sendiri yang sama sekali tidak dapat dicapai oleh riset atau refleksi insani. Ini bukanlah salah satu kebijaksanaan insani yang lebih rendah seperti: keterampilan, ketangkasan, diplomasi, ketajaman pikiran, ketajaman melihat watak, kecerdasan dan semacamnya. Bukan hanya dengan usaha manusiawi melulu untuk dapat memperoleh kekayaan yang besar ini, namun kiranya Tuhan secara bebas memberikan hal itu kepada umat manusia. Secara nyata hal itu tampak dalam apa yang telah Ia kerjakan dan teruskan dalam karya-Nya. Berbeda dengan filsafat-filsafat kekafiran saat itu, kebijaksanaan Allah Israel sangat berperan dalam kehidupan umat-Nya. Dalam ayat 10, “semua makhluk” harus dimengerti sebagai bangsa manusia pada umumnya yang memiliki atau dapat mengambil bagian dalam rahmat; namun pernyataan “orang yang cinta kepada-Nya” dikhususkan bagi umat perjanjian, yakni Israel. Dengan hak istimewa sebagai bangsa terpilih, Israel memiliki bagian yang lebih besar. Hal ini mempersiapkan ajaran istimewa Bin Sirakh yaitu bahwa terjadinya perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan penyataan kebijaksanaan Allah. Hukum Musa adalah kebijaksanaan. Pencurahan kebijaksanaan Allah ini sama dengan pencurahan roh dalam Yoel 3:1 dan juga Kis 2:17, 33. Jadi, menurut R. A. F. MacKENZIE SJ, hikmat/kebijaksanaan pada pokoknya merupakan kitab perjanjian, Taurat Musa yang diberikan agar manusia mendapatkan pengajarannya serta menyesuaikan hidup mereka dengan pengajaran itu. Dengan kata lain, melalui pemberian kebijaksanaan itu manusia dapat hidup benar di hadapan Allah, karena kebijaksanaan itu berasal dari Allah sendiri. Dengan hidup benar sesuai dengan hukum Musa itu, manusia dapat diselamatkan.
Tanggapan saya terhadap pandangan R.A.F. MacKENZIE SJ antara lain:
a. R.A.F. MacKENZIE SJ menyatakan bahwa kebijaksanaan Allah, suatu sifat dari Allah sendiri yang sama sekali tidak dapat dicapai oleh riset atau refleksi insani, namun menurut saya manusia dapat mencapai kebijaksanaan itu melalui kepatuhannya kepada hukum atau perintah Allah.
b. Terlalu kuat memisahkan Bin Sirakh dengan Farisi.

c. Madjelis Agung Wali-wali Geredja Indonesia
Sedangkan menurut Madjelis Agung Wali-wali Geredja Indonesia kebijaksanaan pada manusia sama dengan menuruti Taurat (1:26). Mengabdi kepada kebijaksanaan atau melaksanakan Taurat ia sama harganya dengan berbakti dalam Bait Allah. Kebijaksanaan itu bukan ilmu pengetahuan insani dan duniawi, melainkan agama dan takwa. Pasal 24:1-22 adalah pusat dan bagian terpenting dari seluruh kitab Sirakh. Pengajaran mengenai kebijaksanaan itu di sini mencapai puncaknya. Ajaran ini mendahului ajaran Katolik mengenai “Sabda Allah”, Putra Allah Bapa, yang adalah kebijaksanaan Tuhan, yang menjadi suatu diri ilahi. Jadi menurut Madjelis Agung Wali-wali Geredja Indonesia manusia bisa mendapatkan keselamatan apabila ia mengabdi kepada kebijaksanaan atau “Sabda Allah” itu atau melaksanakan Taurat.
Tanggapan saya terhadap pandangan Madjelis Agung Wali-wali Geredja Indonesia, antara lain:
1. Menurut Madjelis Agung Wali-wali Geredja Indonesia, Kebijaksanaan itu adalah agama dan takwa. Namun menurut saya kebijaksanaan itu adalah anugerah yang diberikan Allah kepada setiap orang yang menuruti hukum Taurat, bukan agama.
2. Sabda Allah sama dengan menuruti Taurat-Nya.

a. Kebijaksanaan dan takut Akan Tuhan menurut Kitab Yesus Bin Sirakh
Ayat 11-13 merupakan peralihan. Kita telah mengetahui bahwa Tuhan mencurahkan kebijaksanaan atas “orang yang cinta kepada-Nya”. Oleh karena itu mereka harus benar-benar disiapkan untuk menerima karunia-Nya. Persiapan insani yang dihubungkan dengan karunia ilahi disimpulkan dalam pernyataan klasik: “Takut akan Tuhan”. Takut akan Tuhan ini merupakan penghormatan yang besar terhadap kebesaran, keadilan dan kebaikan-Nya yang diteruskan dengan devosi dan rasa syukur. Dalam ayat 14-20 Bin Sirakh secara tegas menyatakan, dengan menggunakan banyak gambaran puitis, bahwa ada kaitan antara “takut”, penerimaan dan kenikmatan akan kebijaksanaan Allah tersebut. Rasa “Takut akan Tuhan” merupakan awal, kepenuhan, puncak dan akar kebijaksanaan (1:11-20). Dengan demikian, ketakutan akan Tuhan sama saja dengan kebijaksanaan. Dan menurut anggapan Sirakh, agama sejati ialah ketakutan itu (1:11).

b. Bagaimana Seseorang memperoleh Kebijaksanaan?
Bin Sirakh menganalisis kebijaksanaan sebagai harta dan berkat yang paling besar dalam hidup manusia. Oleh karena itu seseorang dapat memperoleh kebijaksanaan dengan cara menuruti perintah-perintah Allah (28-29). Oleh karena itu perlu adanya suatu “kesetiaan dan kelembutan hati (ayat 27)”. Menurut ayat 28-30 orang yang ingin memperoleh kebijaksanaan harus melawan ketidaktulusan hati, kekafiran dan kesombongan-pendeknya formalisme agamawi. Pasal 15:1 adalah suatu ringkasan yang padat: “takut akan Tuhan = menaati Taurat = memperoleh kebijaksanaan”. Bagi Bin Sirakh ketiganya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Menurut Sanders, Israel dipandang Tuhan sebagai umat pilihan dan hubungan antara Allah dan Israel diikat oleh perjanjian. Dalam menyatakan perjanjian-Nya, Allah juga menyertakan perintah-perintah-Nya. Sanders memandang perintah Allah diberikan dalam konteks seseorang yang telah ada di dalam perjanjian. Sirakh memandang perintah Tuhan harus ditaati sebab ketaatan pada perintah Allah akan mendatangkan upah (reward) dan ketidaktaatan mendatangkan penghukuman (punishment). Solusi dari penghukuman Tuhan adalah pertobatan. Dalam hal penebusan, Sirakh memandang penebusan yang dilakukan haruslah disertai pertobatan. Yang terutama dan menjadi tekanan dari Sirakh bukanlah keharusan melakukan penebusan, namun sikap hidup yang menjauhi pelanggaran dan mengerjakan yang baik. Bagi orang yang taat pada Tuhan, anugerah Allah dan belas kasihan-Nya akan menyelamatkan mereka. Literatur Yesus Bin Sirakh berbicara mengenai pentingnya hikmat Allah dalam keselamatan, dan hikmat tersebut dipandang sebagai anugerah Allah yang akan diperoleh manusia atau orang-orang Yahudi melalui ketaatan mereka pada hukum Tuhan. Kebijaksanaan pada manusia sama dengan menuruti Taurat (19, 20, 26). Mula-mula kebijaksanaan amat berat rasanya. Rupanya ia mempenjarakan dan membudakkan orang. Tetapi semuanya itu untuk kepentingan orang sendiri. Pada kenyataannya dan akhirnya orang, berkat kebijaksanaan, menjadi seperti seorang raja. Sebab itu orang patut suka akan kebijaksanaan, malahan mencarinya (6: 24-31). Kebijaksanaan itu sama dengan perintah-perintah Allah atau Taurat (6:37). Kebijaksanaan termasuk ke dalam hadith (8:9 bnd. Ul 4:9, 11, 19).

Pandangan Pribadi
Menurut saya konsep hikmat atau kebijaksanaan dalam Kitab Bin Sirakh ini mirip dengan konsep Firman dalam Injil Yohanes. Contoh kemiripan diantara keduanya adalah:

Injil Yohanes Kitab Bin Sirakh
1:1-2 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. 1:4 Sebelum segala-galanya kebijaksanaan itu diciptakan dan pengertian yang arif sejak dulu kalanya

Dengan melihat kemiripan ini, saya sementara menyatakan bahwa bisa saja konsep hikmat dalam literatur Bin Sirakh mengacu atau sama dengan konsep Firman dalam Injil Yohanes, yaitu Yesus Kristus. Namun, tetap kita tidak boleh menyimpulkan begitu mudah hanya dengan menggunakan bukti ini saja.
Selain itu, kalau kita melihat beberapa pandangan di atas maka kita akan menemukan adanya hubungan antara kebijaksanaan, hukum Taurat, dan ketaatan. Dengan demikian saya sependapat dengan Boccaccini bahwa literatur Yesus Bin Sirakh berbicara mengenai pentingnya hikmat Allah dalam keselamatan, dan hikmat tersebut dipandang sebagai anugerah Allah yang akan diperoleh manusia atau orang-orang Yahudi melalui ketaatan mereka pada hukum Tuhan.
Dalam kitab Bin Sirakh, manusia taat kepada hukum Tuhan/Taurat, kemudian memperoleh hikmat dari Allah dan mereka akan diselamatkan. Hal ini juga mirip dengan pengajaran Injil tentang Yesus. Di mana ketika manusia percaya dan taat kepada-Nya, maka kemudian memperoleh kuasa untuk menjadi anak-anak Allah, dan akan diselamatkan. Namun, satu hal yang tetap harus kita ingat bahwa Yesus tidak sama dengan hukum Taurat. Karena Yesus bukan hukum Taurat namun Pencipta hukum itu.

Kesimpulan
Konsep hikmat dalam Kitab Bin Sirakh bukanlah dalam pengertian yang sederhana seperti keterampilan yang dimiliki manusia atau bagaimana cara mencari kawan. Namun konsep hikmat dalam Kitab Yesus Bin Sirakh berbicara dalam hubungannya dengan Tuhan. Hikmat yang dimaksud berasal dari Tuhan dan merupakan suatu harta yang berharga bagi manusia. Hikmat merupakan suatu anugerah dari Allah yang dapat menyelamatkan manusia. Selain itu, hikmat Allah juga berkaitan dengan hukum Musa/Taurat dan ketaatan manusia kepada hukum itu. Di mana manusia dapat memperoleh hikmat itu melalui ketaatannya pada hukum Taurat. Namun ketaatannya pada hukum tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan keselamatan.

Pertanyaan:
P : Mengapa saya membandingkan Yohanes dengan kitab Bin Sirakh?
J : Karena saya melihat ada kemiripan antara Injil Yohanes dengan kitab Bin Sirakh. Di mana bisa saja konsep hikmat dalam literatur Bin Sirakh mengacu atau sama dengan konsep Firman dalam Injil Yohanes, yaitu Yesus Kristus. Namun, tetap kita tidak boleh menyimpukan begitu mudah hanya dengan menggunakan bukti ini saja.
P : Apakah orang berhikmat sama dengan orang yang taat pada hukum?
J : Ya, karena seseorang dapat memperoleh hikmat dengan cara menuruti perintah-perintah Allah (28-29). Selain itu, pasal 15:1 adalah suatu ringkasan yang padat: “takut akan Tuhan = menaati Taurat = memperoleh hikmat/kebijaksanaan.”
P : Apakah pengertian hikmat menurut saya?
J : Hikmat adalah bagian dari anugerah Allah yang diberikan dalam bentuk wahyu atau hukum Taurat, tetapi bukan seorang pribadi, walaupun sering dipersonifikasikan sebagai pribadi.
P : Apakah kitab Bin Sirakh ada membahas tentang keselamatan pribadi?
J : Ada, karena hikmat yang dibahas dalam kitab Bin Sirakh terkait dengan komunitas dan individu.
P : Hikmat terkait dengan individu atau komunal?
J : Hikmat terkait dengan individu dan komunal, karena hikmat bersifat universal.
P : Apakah hikmat bersifat universal atau eksklusif?
J : Hikmat bersifat universal. Karena perjanjian, hukum Taurat dan keselamatan bersifat universal.
P : Apa pelajaran yang didapat?
J : Manusia perlu hidup dengan hikmat, menaati Taurat atau hukum-hukum Tuhan sebagai aturan agar bisa hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun, satu hal yang penting diketahui bahwa manusia tidak bisa diselamatkan melalui hikmat, manusia hanya bisa diselamatkan dengan anugerah Allah melalui kematian dan kebangkitan Anak-Nya, Yesus Kristus.

2 komentar: